Sabtu, 09 Juni 2012

reformasi pendidikan


BAB I
PEMBAHASAN

1..Reformasi Pendidikan
 
Krisis  yang dialami bangsa Indonesia baik ekonomi, politik dan keamnan belum juga dapat di atasi. Berbagai krisis tersebut di atas berdampak negatif terhadap dunia pendidikan dengan memunculkan keseimbangan baru pendidikan. Pada keseimbangan baru ini, pelayanan pendidikan tidak dapat dilaksanakan dengan menggunakan cara seperti biasa (bussines as ussual).  Orientasi pelayanan pendidikan dengan menggunakan cara berfikir lama tidak dapat diterapkan dengan begitu saja, dan bahkan mungkin tidak dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan pendidikan pada keseimbangan baru ini. Cara-cara berpikir baru dan terobosan-terobosan baru harus diperkenalkan dan diciptakan untuk mengatasi permasalahan pendidikan pada saat ini dan di masa mendatang. Dengan kata lain, reformasi pendidikan merupakan suatu imperative action.
            Reformasi pendidikan adalah proses yang kompleks, berwajah majemuk dan memiliki jalinan tali-temali yang amat interaktif, sehingga reformasi pendidikan memerlukan pengerahan segenap potensi yang ada dan dalam tempo yang panjang. Betapa kompleksnya reformasi pendidikan dapat difahami karena tempo yang diperlukan amat panjang, jauh lebih panjang apabila dibandingkan tempo yang diperlukan untuk melakukan reformasi ekonomi, apalagi dibandingkan tempo yang diperlukan untuk reformasi politik. Seminar reformasi di Jerman Timur yang diselenggarakan sehabis tembok Berlin diruntuhkan mencatat bahwa untuk reformasi politik diperlukan waktu cukup enam bulan. Untuk reformasi ekonomi diperlukan waktu enam tahun, dan untuk reformasi pendidikan diperlukan waktu enam puluh tahun. Sungguhpun demikian, hasil dan produk setiap fase atau periode tertentu dari reformasi pendidikan harus dapat dipertanggung jawabkan. Di samping itu, yang lebih penting adalah reformasi pendidikan harus memberikan peluang (room for manoeuvre) bagi siapapun yang aktif dalam pendidikan untuk mengembangkan langkah-langkah baru yang memungkinkan peningkatan mutpendidikan.
Reformasi pendidikan pada dasarnya memiliki tujuan agar pendidikan dapat berjalan lebih etektif dan efisien mencapai tujuan pendidikan nasional. Untuk itu dalam reformasi dua hal yang perlu dilakukan: a) mengidentifikasi atas berbagai problem yang menghambat terlaksananya pendidikan, dan, b) merumuskan reformasi yang bersifat strategik dan praktis sehingga dapat diimplementasikan di lapangan. Oleh karena itu, kondisi yang diperlukan dan program aksi yang harus diciptakan merupakan titik sentral yang perlu diperhatikan dalam setiap reformasi pendidikan. Dengan kata lain, reformasi pendidikan harus mendasarkan pada realitas sekolah yang ada, bukan mendasarkan pada etalase atau jargon-jargon pendidikan semata. Reformasi hendaknya didasarkan fakta dan hasil penelitian yang memadai dan valid, sehingga dapat dikembangkan program reformasi yang utuh, jelas dan realistis.
 
Apa syarat utama yang harus dipenuhi untuk dapat mencapai tujuan reformasi yang memadai? Terdapat tuntutan yang merupakan keharusan untuk dipenuhi agar reformasi dapat berjalan mencapai tujuan. Meskipun demikian, tidak ada senjata pamungkas yang dapat memastikan keberhasilan reformasi. Pendekatan sistemik mengisyaratkan agar dalam reformasi tidak ada faktor yang tertinggal. Reformasi harus menekankan pada faktor kunci yang akan mempengaruhi faktor-faktor lain secara simultan, sehingga reformasi akan melibatkan seluruh faktor 'yang penting, dan menempatkan semua faktor tersebut dalam suatu sistem yang bersifat organik.
 
Implementasi reformasi pendidikan yang berada di antara kebijakan publik dan kebijakan yang mendasarkan pada mekanisme pasar tersebut, memusatkan pada empat dimensi: Dimensi Kultural-Fondasional, dimensi Politik-Kebijakan, dimensi Teknis-Operasional, dan dimensi Kontekstual.

A. Dimensi fondasional kultural
            Dimensi kultural berkaitan dengan nilai, keyakinan dan norma-norma berkaitan dengan pendidikan, seperti apa sekolah itu?, siapa guru itu? Seberapa jauh materi yang harus dipelajari oleh siswa? dan, siapa siswa itu? Siapa yang memiliki kekuasaan untuk mengontrol sekolah? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menentukan gambaran fungsi dan tanggung jawab serta peranan komponen sekolah: kepala sekolah, guru, pegawai administrasi, siswa, bahkan orang tua siswa.
            Secara khusus, reformasi pendidikan ditunjukkan oleh perilaku dan peran baru siswa khususnya dalam proses belajar dan mengajar di sekolah. Perubahan pada diri siswa tersebut sebagai hasil adanya perubahan perilaku pada diri guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar khususnya, dan perubahan iklim sekolah pada umumnya.
            Perubahan perilaku guru merupakan perubahan pada aspek teknis yang dapat disebabkan oleh aspek politik. Namun, reformasi pendidikan tidak dan lebih dari sekedar dimensi teknis dan politik, melainkan harus meletakkan dimensi kultural dalam proses reformasi. Sayangnya, aspek kultural merupakan sesuatu yang bersifat relatif abstrak sekaligus sulit untuk dikendalikan. Aspek kultural dapat dibangun dan dikembangkan berdasarkan nilai-nilai dan keyakinan yang ada dalam dunia pendidikan itu sendiri. Nilai-nilai dan keyakinan ini merupakan inti dari reformasi pendidikan.
            Berkaitan dengan dimensi kultural ini, sekolah harus diperlakukan sebagai suatu institusi yang memiliki otonomi dan kehidupan (organik), bukan sekedar institusi yang merupakan bagian dari suatu sistem yang besar (mekanik). Sebagai suatu sistem organik, sekolah dapat dilihat sebagai tubuh manusia yang memiliki sifat kompleks dan terbuka yang harus didekati dengan sistem thinking. Artinya, dalam pengelolaannya sekolah harus dilihat sebagai suatu kesatuan yang utuh. Perbaikan dalam suatu aspek sekolah harus mempertimbangkan aspek yang lain. Dengan pendekatan sistem thinking tersebut dapat diidentifikasi struktur, umpan balik, dan dampak, seperti:

a) keterbatasan perubahan pendidikan,
b) pergeseran sasaran reformasi pendidikan,
c) perkembangan pendidikan, dan
d) sektor pendidikan yang kurang dijamah.


B. Dimensi politik-kebijakan
Dimensi politik berkaitan dengan otoritas, kekuasaan dan pengaruh, termasuk di dalamnya negosiasi untuk memecahkan konflik-konflik dan isu-isu pendidikan. Aspek politik dari reformasi pendidikan amat kompleks. Reformasi memiliki wajah plural yang satu sama lain saling berinteraksi. Keberhasilan dalam mengendalikan aspek politik ini ditunjukkan dengan adanya berbagai kebijakan tetapi satu kebijakan dengan yang lain saling melengkapi, menuju arah tunggal: meningkatkan kemajuan pendidikan. Juga, ditunjukkan oleh adanya serangkaian kebijakan di mana kebijakan yang kemudian melengkapi kebijakan sebelumnya.
Dimensi politik ini tidak sekedar adanya hak-hak politik warga sekolah, khususnya guru dan kepala sekolah, tetapi memiliki pengertian yang lebih luas. Yakni, penekanan pada adanya kebebasan atau otonomi sekolah, khususnya dalam kaitan dengan masyarakat sekitarnya. Dengan otonomi yang dimiliki sekolah, keberadaan sekolah akan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat sekitararnya. Sekolah tidak terlalu menggantungkan pada birokrasi di atas, tetapi sebaliknya sekolah lebih bertumpu pada kekuatan masyarakat sekitar. Untuk itu, keberadaan Pemimpin Lokal di samping kepemimpinan Kepala Sekolah merupakan kunci dari keberhasilan sekolah.
            Pemimpin Lokal, tokoh masyarakat dan Kepala Sekolah harus senantiasa memberdayakan (empowering) guru, antara lain dengan tidak banyak memberikan instruksi atau petunjuk melainkan memberikan tantangan, insentif dan penghargaan dalam melaksanakan misi sekolah. Keberhasilan reformasi pendidikan ditentukan oleh keberhasilan dalam memberdayakan guru. Yakni, guru memiliki otonomi profesional dan kekuasaan untuk menentukan bagaimana visi dan misi sekolah harus diujudkan dalam praktek sehari-hari. Pemberdayaan guru ini akan memungkinkan mereka memadukan apa yang mereka yakini dengan agenda aksi reformasi.
            Sekolah yang baik senantiasa memiliki visi dan misi. Visi dan misi sekolah harus difahami oleh semua guru dan merupakan landasan kerja bersama yang diharapkan dapat memberikan kekuatan dalam melaksankan misi di atas Dengan demikian di sekolah akan dapat dibangun suatu iklim kerjasama di antara warga sekolah, khususnya di kalangan guru. Kerjasama di antara guru ini akan memperkuat proses pemberdayaan guru.
            Pemberdayaan guru perlu dilakukan pula lewat pemberian kesempatan dan dorongan bagi para guru untuk selalu belajar menambah ilmu. Proses pembelajaran sepanjang waktu bagi guru merupakan keharusan, dan menjadi titik pusat dalam reformasi pendidikan. Proses pembelajaran (learning) terjadi manakala guru memiliki kewenangan dan kesempatan untuk mengembangkan visi mereka sendiri tentang bagaimana perubahan yang diperlukan dalam mewujudkan pendidikan yang lebih baik.


  C. Dimensi teknis operasional
            Dimensi teknis berkaitan dengan pengetahuan dan kemampuan profesional dan bagaimana keduanya dapat dikuasai oleh pendidik. Dengan kata lain, aspek teknis dipusatkan pada kemauan dan kemampuan guru untuk melakukan reformasi pada dimensi kelas atau melaksanakan proses belajar mengajar sebagaimana dituntut oleh reformasi. Sudah barang tentu hal ini menuntut adanya perubahan perilaku baik siswa, kepala sekolah dan juga di lingkungan kantor pendidikan selaku fihak yang memiliki wewenang untuk. merumuskan kebijakan pendidikan.
            Kemampuan guru yang dituntut dalam setiap reformasi pendidikan pada umumnya adalah kemampuan penguasaan materi kurikulum dan kemampuan paedagogik. Orientasi kurikulum harus lebih menitikberatkan pada penguasaan akan konsep-konsep pokok, dan lebih menekankan berbagai hubungan antar konsep-konsep tersebut, serta lebih menekankan pada cara bagaimana peserta didik menguasai konsep dan hubungan untuk dikaitkan dengan realitas kehidupan masyarakat dibandingkan hanya menguasai serpihan-serpihan pengetahuan dan kumpulan fakta.
            Di samping kurikulum harus disempurnakan, guru harus memahami dan memiliki motivasi untuk mempergunakan pendekatan dan cara mengajar yang lebih alami, asli dan menarik. Untuk itu perlu dikembangkan tim kerja yang melibatkan guru dan ahli. Misal lewat MGMP seminar, pelatihan dan lewat media cetak dan elektronik. Tujuan dari itu semua adalah meningkakan komunikasi akademik baik di kalangan guru sendiri maupun dengan kalangan luar sekolah. Dengan komunikasi ini diharapkan secara berkesinambungan para guru akan mengembangkan kemampuan dan pengetahuannya sendiri.


  D. Dimensi kontekstual
            Pendidikan tidak berproses dalam suasana vakum dan tertutup, namun terbuka, senantiasa berinteraksi dengan aspek-aspek lain yang berada di luar pendidikan. Aspek-aspek lain tersebut dapat memiliki dampak positif maupun negatif bagi pendidikan. Aspek-aspek tersebut antara lain: a) kepedulian masyarakat terhadap pendidikan, b) perkembangan media massa, dan c) sistem politik pemerintahan.
            Keberhasilan reformasi pendidikan juga ditentukan oleh seberapa besar dukungan masyarakat. Warga masyarakat, khususnya mereka orang tua siswa yang memiliki kelebihan dalam harta dan pendidikan perlu dilibatkan dalam proses reformasi sejak awal. Dukungan masyarakat pada umumnya, dan orang tua siswa khususnya tidak sebatas dukungan finansial, tetapi jauh lebih luas. Termasuk antara lain dukungan orang tua siswa. dalam bentuk partisipasi untuk meningkatkan proses pembelajaran.
            Untuk itu, orang tua siswa khususnya dan tokoh-tokoh masyarakat pada umumnya, perlu diajak memahami visi dan misi sekolah, dan mengambil peran dalam melaksanakan misi sekolah sesuai dengan keyakinan dan kemampuan mereka sendiri.

Empat aspek di atas: Kultural-Fondasional, Politik-Kebijakan, Teknis-Operasional  dan dimensi kontekstual dapat disilangkan dengan empat fokus: a) kondisi riil masa kini, b) hakekat reformasi atau reformasi yang ingin dicapai, c) penghambat untuk terlaksananya reformasi, dan d) program aksi yang perlu dikembangkan untuk muwujudkan tujuan reformasi, dapat diujudkan dalam matriks analisis reformasi sebagai berikut.





MATRIKS REFORMASI PENDIDIKAN 

 
Kondisi Masa Kini
Esensi Reformasi
Faktor Penghambat
Program Aksi
Aspek Teknis
Pengajaran one way direction dan tidak dapat merangsang peserta didik belajar keras. Daya serap siswa atas kurikulum sangat rendah
Meningkatkan kemampuan dan kreatifitas guru, mengembangkan sistem komunikasi professional di kalangan guru sehingga menjadi “a Learning Teacher”. Mengembangkan kurikulum yang menekankan pada konsep pokok dan keterkaitan di antara konsep tersebut yang terintegrasi ke dalam satuan yang bersifat utuh dan fleksibel. Mengembangkan norma baru tentang peran dan perilaku baru siswa dalam pembelajaran, mengembangkan dan membiasakan sistem kolaborasi dalam proses pembelajaran.
Kualitas dan kemampuan guru kurang siap untuk melaksanakan PBM yang lebih bermakna (kolaborasi, constrctivist). Kurikulum sarat materi. Penguasaan kurikulum oleh guru belum sebagaimana di harapkan.
Siswa terbiasa belajar dengan mendengar, menghafal, dan mengerjakan ujian dengan pilihan ganda.
Resistensi di kalangan guru untuk melaksanakan feformasi.
Meningkatkan sistem In service Training yang lebih komprehensif.
Memperbanyak forum bagi guru untuk meningkatkan kemampuan profesional, seperti seminar, penerbitan majalah/Jurnal Guru secara berkala, sehingga tidak ketinggalan dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Membekali para guru dengan kemapuan penelitian aksi, sehingga guru dapat terus menerus mengevaluasi dan meningkatkan keterampilan mengajar.
 
Aspek Politis
Manajemen sentralistis birokratis.
Kepala Sekolah terbiasa bergantung keatas.
Inovasi pada dimensi sekolah amat rendah.
Menciptakan sistem persekolahan dimana masing-masing sekolah memiliki otonomi yang luas dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.
Mengembangkan kepemimpinan Kepala Sekolah dengan sifat-sifat inovatif.
Mendorong Kepala Sekolah untuk senentiasa berupaya memberdayakan guru.
Menjadikan Fungsi pokok Departemen Pendidikan, Kanwil dan Kandep lebih menekankan sebagai pendukung dan pelayanan kebutuhan sekolah untuk mencapai program nasional.
 
Tidak adanya konsesus yang jelas dan terbuka berkenaan dengan arah dan tujuan reformasi pendidikan di kalangan luas masyarakat.
Pola kepemimpinanpaternalistik.
Memberikan kewenangan yang luas bagi Kepala Sekolah dalam menjalankan program nasional sesuai sekolah masing-masing. Seperti, merumuskan visi dan missi sekolah, mengelola sumber-sumber, dan menentukan sasaran dan target sekolah.
Aspek Kultur
Kreatifitas dan inisiatif rendah.
Kepemimpinan kepala sekolah gaya komando. Kultur sekolah tidak kondusif untuk mencapai prestasi (sasaran persaingan, kurang kerjasama, tidak terbuka, guru terlalu aktif, siswa kurang disiplin dan belajar keras.
Mengembangkan norma baru tentang peran dan perilaku.
Mengembangkan dan membiasakan sistem kolaborasi dalam proses pembelajaran.
Fokus sekolah terlalu menekankan NEM, dan mengabaikan aspek yang lain.
Mengembangkan sistem insentif dan rewards bagi upaya-upaya inovatif.
Mengembangkan sistem penghargaan atas keberhasilan guru dan siswa yang tidak saja di bidang prestasi intelektual tetapi juga pada bidang-bidang yang lain.
Mengembangkan suasana kebersamaan di samping suasana kompetitif di sekolah.
 
Aspek Kontekstual
Terpisah dari masyarakatnya.
Dukungan masyarakat rendah.
Faktor negatif lingkungan amat besar (TV, Film, dll)
Mengembangkan iklim hubungan sekolah dan masyarakat yang kuat, sehingga sekolah memiliki basis dan menyatu dengan masyarakat sekitar.
Sebahagian besar siswa berasal dari tempat yang jauh dari sekolah.
Masih besar rasa ketidakpercayaan penggunaan fasilitas sekolah oleh masyarakat sekitar.
Masyarakat tidak melihat sekolah bagian dari mereka.
 
Memberikan kesempatan seluas-luasnya partisipasi orang tua siswa dan masyarakat sesuai dengan kemampuan mereka.








E.Sekolah mandiri 
Reformasi pendidikan memiliki bentuk konkret pada dimensi individu (guru dan siswa), dimensi sekolah, dimensi masyarakat atau makro. SEKOLAH MANDIRI salah satu bentuk konkret dari reformasi pendidikan pada dimensi sekolah. Yakni, suatu kebijakan yang menempatkan pengambilan keputusan pada mereka yang terlibat langsung pada proses pendidikan: Kepala Sekolah, guru, orang tua siswa dan masyarakat. Kebijakan ini akan membawa dampak tidak saja pada manajemen sekolah, tetapi juga pada implementasi kurikulum dan proses belajar mengajar yang dilaksanakan. Sebab, tanpa ada perubahan pada proses belajar mengajar, apapun yang dilaksanakan di sekolah tidak akan banyak artinya. Perubahan tidak akan banyak artinya tanpa melibatkan aparat sekolah secara keseluruhan.
Sekolah mandiri tidak berarti tanpa kendali. Melainkan mandiri dalam konteks sistem-pendidikan nasional. Sekolah memiliki kemandirian dalam melaksanakan rekayasa untuk menjabarkan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara nasional, tanpa meninggalkan latar belakang dan karakteristik kondisi lokal setempat. Untuk itu sekolah mandiri memiliki kultur, kebiasaan dan cara kerja baru yang berbeda dengan kebiasaan dan tata cara kerja sekolah dewasa ini. Kultur, kebiasaan-kebiasaan dan tata cara kerja baru ini akan mempengaruhi perilaku seluruh komponen sekolah: Kepala Sekolah, guru, pegawai administrasi dan siswa. Bahkan, dalam jangka panjang, kebiasaan dan tata cara kerja baru ini akan berpengaruh di kalangan orang tua siswa dan masyarakat. Kultur, kebiasaan, dan tata cara kerja baru tersebut antara lain:
a) setiap sekolah memiliki visi dan misi,
b) sekolah memiliki program yang mendasarkan pada data kuantitatif,
c) sekolah merupakan sistem organik,
d) sekolah memiliki kepemimpinan mandiri,
e) sekolah memiliki program pemberdayaan bagi seluruh komponen sekolah,
f) sekolah merupakan kegiatan pelayanan jasa dengan tujuan utama memberikan kepuasan maksimal  bagi siswa, orang tua siswa dan masyarakat selaku konsumen, dan,
g) sekolah mengembangkan "Trust" (Kepercayaan) sebagai landasan interaksi internal maupun eksternal seluruh warga sekotah.
  F. Ciri sekolah mandiri
Sekolah Mandiri tidak hanya diartikan dengan membentuk suatu lembaga di sekolah dengan wewenang tertentu seperti anggaran dan kurikulum. Dengan telah dibentuknya lembaga ini belum tentu sekolah sudah memahami tanggung jawab dan peran yang baru dalam mengelola sekolah, dan akan mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan singkat dikatakan, bahwa implementasi Sekolah Mandiri memerlukan suatu bentuk kesadaran baru dalam menjalankan roda organisasi sekolah. Kepala sekolah beserta guru harus memiliki otonomi dan otoritas yang memadai, dan instruksi serta petunjuk dari kantor pendidikan harus dikurangi. Sejalan dengan itu, berbagai sumber daya perlu disebarluaskan sampai pada dimensi sekolah. Seperti, informasi prestasi siswa dan kepuasan orang tua siswa dan masyarakat, serta sumber-sumber yang tersedia perlu disampaikan pada dimensi sekolah sehingga sekolah memiliki pertimbangan yang jelas dalam menentukan kegiatan.

G. Visi dan misi
Sekolah harus megembangkan visi dan misi sendiri. Visi suatu sekolah merupakan suatu pandangan atau keyakinan bersama seluruh komponen sekolah akan keadaan masa depan yang diinginkan. Keberadaan visi ini akan memberikan inspirasi dan mendorong seluruh warga sekolah untuk bekerja lebih giat. Visi sekolah harus dinyatakan dalam kalimat yang jelas, positif, realistis, menantang, mengundang partisipasi, dan menunjukkan gambaran masa depan.
            Misi erat berkaitan dengan visi. Kalau visi merupakan pernyataan tentang gambaran global masa depan, maka misi merupakan pernyataan formal tentang tujuan utama yang akan direalisir. Jadi kalau visi merupakan ide, cita-cita dan gambaran di masa depan yang tidak terlalu jauh, maka misi merupakan upaya untuk konkritisasi visi dalam ujud tujuan dasar yang akan diujudkan.
            Visi dan misi sekolah merupakan penjabaran atau spesifikasi visi dan misi pendidikan nasional yang disesuaikan dengan latar belakang dan kondisi lokal. Adalah sangat mungkin latar belakang dan kondisi lokal dari sekelompok sekolah memiliki kemiripan, dan untuk ini dimungkinkan untuk mengembangkan visi dan misi dari beberapa sekolah yang berada dalam suatu cluster sekolah.
            Visi dan misi sekolah ini akan terus membayangi segenap warga sekolah: Kepala sekolah, guru, pegawai administrasi, siswa dan orang tua siswa, dengan pertanyaan-pertanyaan: Mengapa kita di sini? Apa yang harus kita perbuat atau kerjakan? Bagaimana kita melaksanakan? Bagi kepala sekolah harus selalu ditantang dengan pertanyaan: Mengapa dan untuk opa saya jadi kepala sekolah? Apa yang harus saya kerjakan sebagai kepala sekolah? Bagaimana saya melakukan pekerjaan tersebut? Pertanyaan akan muncul bagi guru: Mengapa dan untuk apa saya menjadi guru? Apa yang harus saya kerjakan sebagai guru? Bagaimana saya melaksanakan pekerjaan tersebut? Pertayaan-pertanyaan tersebut akan mendorong seluruh warga sekolah, sesuai dengan kapasitas dan fungsi masing-masing bekerja keras berdasarkan misi guna mendekati visi sekolah.


H.Sekolah sebagai sistem organik
            Suatu sekolah merupakan gabungan dari berbagai, baik akademik maupun non-akademik, termasuk bagaimana interaksi guru-siswa formal dalam proses belajar  mengajar, interaksi antar guru, interaksi guru dan pegawai administrasi dalam proses mengurus kenaikan pangkat guru, interaksi antara siswa dan staf perpustakaan dalam proses bagaimana tenaga perpustakaan melayani para siswa, interaksi antara guru dan kepala sekolah dalam proses bagaimana kepala sekolah memimpin para guru, dan sebagainya. Interaksi yang begitu banyak terjadi di sekolah tersebut, memberikan signal bagi kita semua, bahwa program kerja sekolah memiliki suatu sistem yang mampu mengkoordinasi dan mensinergikan dari seluruh interaksi yang ada di sekolah.
            Inti  dari  interaksi  pendidikan  adalah  interaksi  formal guru-siswa dalam proses belajar mengajar yang merupakan interaksi dari berbagai komponen pendidikan: guru, siswa dan bahan ajar serta peralatan. Dalam istilah yang singkat disebut proses pembelajaran yang berasal dari kata 'learning'. Meskipun interaksi formal dalam proses pembelajaran merupakan interaksi akademik, tetapi interaksi ini tidak bisa diisolir dari interaksi kegiatan yang lain termasuk kegiatan non-akademik, seperti interaksi dalam proses pengurusan kenaikan jenjang jabatan guru, pelayanan perpustakaan, pelaksanaan apel bendera, atau kepemimpinan sekolah. Oleh karena itu, sekolah mandiri merupakan kebutuhan dari seluruh interaksi tersebut.
Sekolah jangan dipandang sebagai suatu jaringan individu tetapi sebagai jaringan interaksi. Setiap interaksi akan menghasilkan kekuatan atau energi yang berpengaruh terhadap sekolah: negatif atau positif. Bentuk-bentuk dan bagaimana kualitas interaksi berlangsung akan menentukan sifat dan besaran energi. Oleh karena itu, sekolah mandiri harus memfokuskan pada interaksi ini di samping memfokuskan pada diri individu warga sekolah. Sudah barang tentu fokus ini tidak dapat dipisahkan secara absolut, melainkan secara simultan. Malahan dapat dikatakan bahwa sekolah harus secara simultan memahami masing-masing individu dengan segala karakteristiknya dan interaksi saling ketergantungan dari berbagai individu tersebut. Kita tidak dapat memisahkan keduanya.



            Tuntutan yang penting adalah sekolah perlu mengidentifikasi keberadaan berbagai bentuk interaksi dengan masingmasing karakteristik pokok yang menyertai. Misalnya, sekolah memiliki a) interaksi formal dalam ujud proses belajar mengajar, b) interaksi guru informal, c) interaksi guru formal dalam rapat, d) interaksi siswa dalam kelas, e) interaksi siswa di luar kelas, dan sebagainya. Masing-masing interaksi tersebut masih dapat diperinci. Interaksi belajar mengajar terdiri dari: a) interaksi guru dalam menjelaskan materi, b) interaksi guru dalam mengajukan pertanyaan terhadap siswa, c) interaksi guru dalam menanggapi jawaban siswa, dan sebagainya.
            Karakteristik masing-masing interaksi tersebut akan menghasilkan energi yang bersifat positif atau negatif. Bersifat positif apabila hasil interaksi akan menimbulkan seseorang bekerja lebih keras. Sebaliknya, bersifat negatif apabila interaksi akan menyebabkan seseorang menjadi malas, tertekan, dan menurun semangatnya. Dalam kalangan profesi kedokteran, interaksi antar dokter menimbulkan energi positif untuk kemajuan ilmu kedokteran, sebab apabila dokter ketemu dokter mereka bertukar pikiran tentang bagaimana pengalaman mereka berkaitan dengan praktek pengobatan. Demikian juga kalau insinyur ketemu insinyur yang dibicarakan adalah bagaimana teknik pembangunan jalan layang baru yang lebih hemat dan canggih telah diketernukan, sehingga interaksi ini menimbulkan energi yang positif. Tetapi tengoklah, kalau guru berinteraksi dengan guru, jarang mereka membicarakan pengalaman masing-masing dalam interaksi dengan siswa. Kalau interaksi guru dengan guru dapat diubah dan di arahkan dalam interaksi mereka membicarakan pengalaman mereka tentang proses belajar mengajar, maka interaksi ini akan menimbulkan energi yang dahsyat yang akan membawa kemajuan pendidikan. Dalam jangka 2-3 tahun, jika dalam setiap interaksinya guru membiasakan berdiskusi dengan sesama guru, maka dunia pendidikan akan mengalami perubahan besar.
            Dalam sekolah mandiri yang memiliki sifat sistem organik, kepala sekolah di samping menaruh perhatian terhadap warga sekolah sebagai individu atau kelompok, ia juga harus memahami dan menaruh perhatian terhadap proses interaksi ini. Energi yang dihasilkan oleh interaksi tersebut harus dicermati dan merupakan sesuatu yang akan diorganisir. Kepala sekolah berperan untuk memfokuskan, mendorong, mengembangkan dan mengorganisir serta mengelola energi tersebut
untuk di arahkan guna kemajuan sekolah. Untuk itu sekolah dan seluruh warganya harus bersifat adaptif.


I.Dekonsentrasi dan desentralisasi
Sekolah Mandiri merupakan implementasi dari desentralisasi pendidikan. Untuk mendukung pelaksanaannya, pada Sekolah Mandiri perlu dikembangkan Dekonsentrasi pengambilan keputusan yang memerlukan restrukturisasi organisasi pendidikan.Organisasi pendidikan bersifat sentralistis. Kebijakan pendidikan secara umum dan politis ditetapkan oleh Departemen Pendidikan. Keputusan politis ini harus dijabarkan oleh direktorat jenderal yang relevan. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah bertanggung jawab untuk merumuskan kebijakan pendidikan dasar dan menengah. Kebijakan Dirjen ini akan dioperasionalkan ke dalam kebijakan teknis oleh direktorat yang relevan. Kemudian Kantor Wilayah dan Kantor Daerah Pendidikan dan Kebudayaan akan melakukan koordinasi implementasi kebijakan teknis tersebut.
            Implementasi Sekolah Mandiri memerlukan restrukturisasi organisasi dengan menempatkan pembuatan kebijakan teknis pada Kantor Daerah Pendidikan. Organisasi Direktorat dan Kantor Wilayah Pendidikan perlu dihapuskan. Sebab, kebijakan teknis yang diperlukan adalah yang sesuai dengan tuntutan dan kondisi lokal. Dengan demikian Kantor Daerah akan memiliki fungsi mewakili Departemen dalam pengambilan keputusan untuk daerahnya masing-masing.
Reformasi pendidikan merupakan suatu keharusan. Sebab, cara-cara yang selama ini dilaksanakan dalam pengelolaan pendidikan tidak akan dapat memecahkan persoalan-persoalan yang muncul dewasa ini. Krisis moneter dan ekonomi yang diikuti oleh krisis politik, kepercayaan dan keamanan, mempercepat keharusan reformasi pendidikan.
Reformasi pendidikan yang diperlukan bersifat menyeluruh dan mendasar, menyangkut dimensi kultural-fokasional, politik-kebijakan, teknis-operasional, dan, dimensi kontekstual. Tambal sulam dalam dunia pendidikan saat ini harus dihindarkan, sebab hanya akan berakibat menunda datangnya bencana yang lebih parah lagi.
Betapapun Reformasi merupakan suatu keharusan, tetap saja akan muncul resistensi yang menghambat jalannya reformasi. Oleh karena itu, reformasi pendidikan perlu untuk:
1.  Mendapatkan  dukungan  dari  kalangan  profesional dengan:
a) memberikan pelayanan yang lebih baik,
b) menciptakan iklim yang kondusif untuk mengembangkan kerjasama profesional, dan c) meningkatkan kesejahteraan mereka.
 
2.    Mengembangkan kesadaran di kalangan profesional dan kesempatan bagi orang tua untuk berpartisipasi dalam kegiatan sekolah sehingga merasa ikut memiliki.
 
3.    Mengurangi beban administrasi atau non-profesional guru dengan lebih menekankan pada aspek teknis profesional.
      Di samping itu, selain tambal sulam, reformasi pendidikan juga harus menghindari upaya pencapaian hasil jangka pendek atau semu dengan mengorbankan pencapaian hasil jangka panjang.  Hal ini dapat terjadi, misalnya, apabila reformasi hanya menekankan pada aktivitas yang memfokuskan pada perilaku baru guru dalam mengajar, bagaimana guru menguasai materi baru, memahami makna hakiki dari reformasi pendidikan yakni membantu peserta didik mengembangkan peran dirinya yang baru.
B.MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Desentralisasi di bidang pendidikan merupakan satu aspek yang sangat penting dari upaya Pemerintah dalam bidang desentralisasi. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai bagian dari strategi Pemerintah dalam desentralisasi pendidikan bertujuan memperkuat kehidupan berdemokrasi melalui desentralisasi kekuasaan, sumber daya dan dana ke masyarakat tingkat sekolah. Bersama partisipasi aktif masyarakat dalam bidang pendidikan MBS akan membantu sekolah dalam merencanakan manajemen sekolah, kebutuhan belajar siswa dan membuat keputusan pada masalah-masalah yang langsung berakibat pada pengelolaan sekolah dan belajar siswa. Dengan cara ini diharapkan MBS dapat meningkatkan demokratisasi pengeloaan sekolah, transparansi perencanaan, akuntabilitas pelaporan proses belajar-mengajar yang aktif, kreatif, dan menyengangkan, yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan pada umumnya.
Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dikembangkan dari hasil penelitian tentang sekolah efektif. Konsepnya berupa desentralisasi manajemen sumber-sumber daya ke tingkat sekolah: pengetahuan, teknologi, kewenangan (power), bahan, orang, waktu, dan keuangan. Desentralisasi ini bersifat administratif: keputusan yang dibuat di tingkat sekolah harus dalam kerangka kebijakan nasional. Dengan demikian, sekolah masih harus akuntabel kepada Pemerintah atau pemerintah daerah, tidak hanya kepada masyarakat dan pememangku kepentingan lainnya dalam pendidikan.
Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
1.Pengertian MBS
Manajemen berbasis sekolah atau School Based Management dapat didefinisikan dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengembilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam pendidikan nasioal.
Secara garis besar, MBS adalah upaya (i) mendelegasikan organisasi, manajemen dan tata kelola (governance) sekolah; (ii) memberdayakan orang yang paling dekat dengan siswa di kelas, yaitu guru, orangtua dan kepala sekolah; (iii) menciptakan peran dan tanggung jawab baru bagi seluruh orang yang terlibat dalam MBS; dan (iv) mentransformasikan proses belajar-mengajar yang terjadi di sekolah (Hallinger, Murphy, & Hausman, 1992). Dengan demikian manajemen berbasis sekolah merupakan bentuk alternatif pengelolaan sekolah dalam rangka desentralisasi pendidikan, yang ditandai oleh adanya kewenangan pengambilan keputusan yang lebih luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang relatif tinggi, dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.

2.Landasan MBS
PelaksanaanDalam sistem yang terdesentralisasi, banyak porsi dalam bidang pendidikan direncanakan dan dikelola oleh Pemerintah Daerah. Dalam sistem ini, Pemerintah Pusat hanya menentukan kebijakan-kebijakan secara nasional dan menentukan standar standar nasional.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pasal 13 ayat(1) f dan Pasl 14 ayat(1) f masing-masing menegaskan bahwa penyelengaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusi potensial menjadi urusan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 51 menjamin bahwa pengelolaan satuan pendidikan dilaksanakan dengan prinsip manajemen berbasis sekolah. Kemudian
Rencana Strategis Depdikas Tahun 2005 – 2009, bagian Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, dalam sub bagian Peningkatan Governance, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik, dinyatakan bahwa pengembangan kapasitas dilaksanakan dalam rangka penerapan
Manajemen Berbasis Sekolah.Penelitian beberapa negara yang menerapkan MBS selama beberapa tahun memperlihatkan: (i) kepala sekolah melaporkan kepuasan kerja yang lebih tinggi, fleksibilitas, kecepatan pembuatan keputusan, rendahnya kadar birokrasi, dan lebih banyak keterlibatan orangtua dan komite sekolah (ii) para guru merasa lebih diberdayakan, meningkatnya kepuasan kerja, kesungguhan (committment), dan rasa hubungan kerja sesama rekan (collegiality). Guru yang diberdayakan yakin bahwa mereka memiliki daya untuk "mengidentifikasi masalah, merumusan dan menerapkan upaya perubahan, dan ...bertanggung jawab terhadap hasil dari organisasi”
3.Esensi
Esensi dari MBS adalah otonomi dan pengambilan keputusan partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah. Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan (kemandirian) yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Jadi, otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai dengan dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Kemandirian yang-dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaftif dan antisipatif, kemampuan bersinergi danm berkaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhan sendiri.
Pengambilan keputusan partisipatif adalah suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, di mana warga sekolah (guru, karyawan, siswa,orang tua, tokoh masyarakat) dkjorong untuk terlibatsecara langsung dalam proses pengambilankeputusan yang akan dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah. Pengambilan keputusan partisipasi berangkat dari asumsi bahwa jika seseorang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan tersebut, sehingga yang bersangkutan akan merasa memiliki keputusan tersebut, sehingga yang bersangkutan akan bertanggung jawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Singkatnya makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki, makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggung jawab, dan makin besar rasa tanggung jawab makin besar pula dedikasinya.
Dengan pola MBS, sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) yang lebih besar dalam mengelola manajemennya sendiri. Kemandirian tersebut di antaranya meliputi penetapan sasaran peningkatan mutu, penyusunan rencana peningkatan mutu, pelaksanaan rencana peningkatan mutu dan melakukan evaluasi peningkatan mutu. Di samping itu, sekolah juga mmiliki kemandirian dalam menggali partisipasi kelompok yang brekepentingan dengan sekolah. Di sinilah letak ciri khas MBS.
Berdasarkan konsep dasar yang telah diuraikan di atas, maka perlu dilakukan penyesuaian din dari pola lama manajemen pendidikan menuju pola baru manajemen pendidikan- masa depan yang lebih bernuansa otonomi yang demokratis. Dimensi-dimensi perubahan pola manajemen dari yang lama menuju yang baru tersebut, dewasa ini secara konseptual maupun praktik tertera dalam MBS.
Mengacu pada dimensi-dimensi tersebut di atas, sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolaan lembaganya. Pengambilan keputusan akan dilakukan secara partisipatif dengan mengikutsertakan peran masyarakat sebesar-besarnya.

4. Karakterisitk Manajemen Berbasis Sekolah
Karakteristik manajemen berbasis sekolah tentunya tidak terlepas dari pendekatan input, proses, output pendidikan.
1. Input Pendidikan
a.Memiliki kebijakan, tujuan dan sasaran mutu yang jelas.
b.Tersedianya sumberdaya yang kompetitif dan berdedikasi.
c.Memiliki harapan prestasi yang tinggi.
d.Komitmen pada pelanggan
2.Proses pendidikan
a.Efektifitas yang tinggi dalam proses belajar mengajar
b.Kepemimpinan yang kuat.
c. Lingkungan sekolah yang nyaman.
d. Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif.
e. Tim kerja yang kompak dan dinamis.
f. Kemandirian, partisipatif dan keterbukaan (transparansi)
g. Evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan.
h. Responsif, antisipatif, kominikatif dan akuntabilitas.
3. Out put yang diharapkan
Tujuan umum peyelenggaraan pendidikan dan konsep dasar manajemen berbasis sekolah

5. Karakteristik Sekolah Mandiri Dengan MBS
Selanjutnya,melalui penerapan MBS akan nampak karakteristik dari profil sekolah mandiri, di antaranya sebagai berikut:
1. Pengelolaan sekolah akan lebih desentarlistik
2. Perubahan sekolah akan lebih didorong oleh motivasi internal dari pada diatur oleh luar sekolah.
3. Regulasi pendidkan menjadi lebih sederhana.
4. Peranan para pengawas bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi dan
mengarahkan menjadi  menfasilitasi dan dari menghindari resiko menjadi mengelola resiko.
5. Akan mengalami peningkatan manajemen.
6. Dalam bekerja, akan menggunakan team work
7. Pengelolaan informasi akan lebih mengarah kesemua kelompok kepentingan sekolah
8. Manajemen sekolah akan lebih menggunakan pemberdayaan dan struktur organisasi akan lebih datar sehingga akan lebih sederhana dan efisien.
6. Tujuan Penerapan MBS
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan kemandiriannya, maka:
1. Sekolah sebagai lembaga pendidikan lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya dibanding dengan lembaga-lembaga lainnya.
2. Dengan demikian sekolah dapat mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk memajukan lembaganya.
3. Sekolah lebih mengetahui sumber daya yang dimilikinya dan input pendidikan yang akan dikembangkan serta didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik,
4. Sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada pemerintah, orang tua peserta didik, dan masyarakat pada, umumnya, sehingga sekolah akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasarn mutu pendidikan yang telah direncanakan.
5. Sekolah dapat melakukan persaingan sehat dengan sekolah-sekolah yang lainnya untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang tua peserta didik, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat.
Dengan demikian, secara bertahap akan terbentuk sekolah yang memiliki kemandirian tinggi. Secara umum, sekolah yang mandiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Tingkat kemandirian tinggi sehingga tingkat ketergantungan menjadi rendah
2. Bersifat adaptif dan antisipatif memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko)
3. Bertanggung jawab terhadap input manajemen dan sumber dayanya.
4. Memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja.
5. Komitmen yang tinggi pada dirinya.
6. Prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya.
Selanjutnya dilihat dari sumber daya manusia sekolah yang mandiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Pekerjaan adalah miliknya.
2. Bertanggung jawab.
3. Memiliki kontribusi terhadap pekerjaannya
4. Mengetahui poisisi dirinya dan memiliki kontrol terhadap pekerjaannya
5. Pekerjaan merupakan bagian hidupnya Dalam upaya menuju sekolah mandiri, terlebih dahulu kita perlu menciptakan sekolah yang efektif. Ciri sekolah yang efektif adalah sebagai berikut:
1. Visi dan misi yang jelas dan target mutu yang harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan secara lokal.
2. Sekolah memiliki output yang selalu meningkat setiap tahun.
3. Lingkungan sekolah aman, tertib, dan menyenangkan bagi warga sekolah.
4. Seluruh personil sekolah memiliki visi, misi, dan harapan yang tinggi untuk berprestasi secara optimal.
5. Sekolah memiliki sistem evaluasi yang kontinyu dan komprehensif terhadap berbagai aspek akademik dan non akademik.
7. Model MBS Leithwood dan Menzies (1998) menemukan empat model MBS dari hasil penelitiannya, yaitu:
1. Kontrol administratif, kepala sekolah dominan sebagai representasi dari administrasi pendidikan.
2. Kontrol profesional, pendidik menerima otoritas.
3. Kontrol masyarakat, kelompok masyarakat dan orangtua peserta didik, melalui Komite Sekolah, terlibat dalam kegiatan sekolah.
4. Kontrol secara seimbang, orangtua siswa dan kelompok profesional (kepala sekolah dan pendidik) saling bekerja sama secara seimbang.Keempat model MBS tersebut sebenarnya merupakan berbagai varian yang muncul dalam proses pemberian otonomi. Pada awal pemberian otonomi, model yang pertama (kepala sekolah dominan) telah lahir dengan sosok sebagai raja-raja kecil yang berkuasa di berbagai satuan organisasi, termasuk kabupaten/kota sampai dengan satuan pendidikan sekolah. Model kedua, para guru telah dilibatkan dalam manajemen sekolah. Model ketiga, masyarakat dan orangtua siswa telah dilibatkan dalam kegiatan sekolah. Model keempat adalah model ideal yang diharapkan. Model keempat ini merupakan model hubungan sinergis antara keluarga, sekolah, dan masyarakat, yang diharapkan dapat mendongkrak upaya peningkatan mutu pendidikan.
8. Langkah-Langkah Penerapan
1. Perencanaan
a. Mengidenfikasi sistem, budaya, dan sumberdaya, mana yang perlu dipertahankan dan diubah dengan memperkenalkan dahulu format baru yang lebih baik.
b. Membuat komitmen secara rinciyang diketahui semua unsur yang bertanggung jawab, jika terjadi perubahan yang mendasar.
c. Hadapilah penolakan terhadap perubahan dengan memberi pengertian akan pentingya perubahan demi mencapai tujuan bersama.
d. Bekerja dengan semua unsur sekolah dalam menjelaskan atau memaparkan visi, misi, tujuan, sasaran, rencana dan program-program penyelenggaraan MBS.
e. Menggaris bawahi prioritas sistem, budaya dan sumberdaya yang belum ada dan sangat diperlukan.
2. Mengindentifikasi tantangan nyata sekolah Pada umumnya tantangan sekolah ada pada uotput (lulusan) yang meliputi aspek kualitas, produktifitas, efektibilitas dan efisiensi. Sehingga perlu adanya identifikasi dari hasil analisis output melalui penyelenggaraan pendidikan.
3. Merumuskan visi, misi, tujuan, sasaran sekolah yang dapat menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah.
- Visi adalah gambaran masa depan yang diinginkan sekolah dan kapan tujuan itu akan tercapai.
- Misi adalah tindakan untuk merealisasikan visi tersebut.
- Tujuan adalah apa yang ingin dicapai atau dihasilkan oleh sekolah dan kapan tujuan itu akan dicapai.
- Sasaran adalah penjabaran tujuan yang akan dicapai oleh sekolah dalam jangka waktu lebih pendek dibandingkan dengan tujuan sekolah.
4. Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran.
Fungsi-fungsi yang dimaksud adalah unsur-unsur kegiatan dan pendukungnya yang saling berkaitan dan tidak bisa berdiri sendiri.

5. Melakukan analisis potensi lingkungan (analisis SWOT) Prinsip analisis SWOT
- Kekuatan apa saja yang dimiliki? Dan bagaimana memmanfaatkannya?
- Kelemahan apa saja yang dimiliki? Dana bagaimana cara meminimalisir?
- Peluang apa saja yang ada? Dana bagaimana memanfaatkannya?
- Ancaman apa yang mungkin menghambat? Bagaimana mengatasinya?
6. Memilih langkah alternatif pemecahan masalah.
7. Menyusun rencana program penigkatan mutu.Meliputi program jangka pendek, menengah dan jangka panjang.
8. Melaksanakan rencana program peningkatan mutu.
9. Melakukan evaluasi pelaksanaan.
10. Merumuskan sasaran peningkatan mutu baru.
9. Strategi Pengembangan
Ada lima prinsip yang mendasari program MBS (CLCC), yaitu
(1) suitable program cocok dengan sistem dan kultur di Indonesia
(2) workable dapat dilaksanakan, program lebih bersifat praktis dan “membumi”
(3) affordable terjangkau, program dapat dilaksanakan oleh sekolah dengan inisiatif sendiri secara mandiri, bila perlu tanpa harus ada bantuan dari luar
(4) replicable program dapat direplikasi kepada sekolah lain, dan
 (5) sustainable program dapat terus dilaksanakan dan dikembangkan karena didesain sesuai dengan dan diimplementasikan ke dalam sistem dan struktur yang ada. Jadi program MBS tidak memproduksi “barang baru”.
Tiga pilar MBS yang diintervensi dalam CLCC adalah (i) manajemen sekolah, (ii) proses pembelajaran, dan (iii) peranserta masyarakat. Ada pelatihan pelaksanaan ketiga pilar ini pada kepala sekolah, guru, komite sekolah, dan personel pemerintah daerah, dengan porsi materi sesuai dengan peran masing-masing.
Dalam manajemen sekolah, kepala sekolah dan stafnya (para guru dan pegawai administrasi sekolah) didorong untuk berinovasi dan berimprovisasi dari dalam diri sekolah, yang kemudian akan menumbuhkan daya kreativitas dan prakarsa sekolah, dan membuat sekolah sebagai pusat perubahan. Pengambilan keputusan melibatkan warga sekolah, sesuai dengan relevansi, keahlian, yurisdiksi, dan kompatibilitas keputusan dengan kepentingan partisipan. Dengan cara ini, pengetahuan, informasi dan keahlian terbagi di antara kepala sekolah, guru dan warga sekolah lain terutama komite sekolah.
10. Dalam mentrasformasi proses pembelajaran, kepala sekolah memfasilitasi setiap upaya guru untuk meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah. Inti dari pilar kedua ini adalah digalakkannya pembelajaran berpusat pada siswa (student-centered learning), yang diakronimkan dengan Pembelajaan yang Aktif, Kreatif sehingga menjadi Efektif, namun tetap Menyengankan (PAKEM). Dalam PAKEM, guru: (i) fleksibel dalam mengelola proses belajar-mengajar sehingga anak dapat mengungkapkan pendapat dan dirinya, baik secara lisan maupun tertulis, dan mengungkapkan hasil pekerjaan serta memajangkan hasil karyanya di sekolah; (ii) menggunakan berbagai jenis penilaian untuk ”menangkap” kemajuan dan prestasi siswa; (iii) memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada di lingkungan untuk menunjuang pembelajaran di dalam kelas, termasuk memanfaatkan keahlian dan partisipasi masyarakat.
11. Manfaat MBS Penerapan MBS yang efektif secara spesifik mengidentifikasi beberapa manfaat spesifik dari penerapan MBS sebagai berikut (Kathleen, ERIC_Digests,):
a. Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
b. Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
c. Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
d. Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
e. Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
f. Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.
12. Keunggulan MBS
1. MBS adalah lebih demokratis. MBS memungkinan guru dan orangtua siswa dapat mengambil keputusan tentang pendidikan dengan cara-cara yang lebih demokratis daripada hanya sekedar memberikan kewenangan kepada orang-orang yang terbatas atau satu kelompok orang pada level pusat.
2. MBS adalah lebih relevan.
3. MBS adalah tidak birokratis.
4. MBS memungkinkan untuk lebih memiliki akuntabilitas.
5. MBS memungkinkan untuk dapat memobilisasi sumberdaya secara lebih besar.
Dalin (1994), Carron dan Chau (1996) menemukan dalam penelitiannya bahwa kualitas pendidikan lebih ditentukan oleh cara sekolah mengelola sumber daya ketimbang oleh ketersediaan sumber dayanya sendiri. Sumber daya yang ada di sekolah boleh jadi akan menjadi mala petaka bagi semua pihak jika kepala sekolah tidak dapat mengelolanya secara transparan. Faktor lain yang mempengaruhi kualitas pendidikan adalah kemampuan kepala sekolah dalam meningkatkan proses belajar mengajar. Dengan demikian, kedua faktor tersebut (ketersediaan sumber daya dan proses belajar mengajar) harus dikelola secara profesional oleh pihak sekolah.
C.Pengelolaan Pendidikan Pada Tingkat Sekolah
1.Peran masyarakat dalam pengelolaan tingkat  sekolah
Dalam Pasal 188 (2) PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, peran serta masyarakat telah dirumuskan sebagai berikut. Masyarakat menjadi sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. Oleh karena itu,  masyarakat mempunyai peran dalam bentuk
 (a) penyediaan sumber daya pendidikan
 (b) penyelenggaraan satuan pendidikan,
 (c) penggunaan hasil pendidikan
 (d) pengawasan penyelenggaraan pendidikan
 (e) pengawasan pengelolaan pendidikan,
(f) pemberian pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada pemangku kepentingan pendidikan pada umumnya
(g) pemberian bantuan atau fasilitas kepada satuan pendidikan dan/atau penyelenggara satuan pendidikan dalam menjalankan fungsinya. Cukup banyak dan beragam kemungkinan peran yang dapat ditunaikan oleh masyarakat dalam urusan pendidikan
 Pasal 188 (1) bahwa ”Peran serta masyarakat meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan”. Bahkan dalam Pasal 188 (4) dinyatakan bahwa peran serta masyarakat secara khusus dapat disalurkan melalui dewan pendidikan tingkat nasional, dewan pendidikan tingkat provinsi, dewan pendidikan tingkat kabupaten/kota, komite sekolah, dan atau organ representasi pemangku kepentingan satuan pendidikan. Itulah sebabnya, dewan pendidikan, mulai dari dewan pendidikan tingkat nasional, provinsi, sampai dengan kabupaten/kota, serta komite sekolah diposisikan menjadi wadah peran serta masyarakat yang paling dominan untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan.
2.Fungsi Dewan Pendidikan
Dalam Pasal 192 (2) dengan tegas dijelaskan bahwa ”Dewan Pendidikan berfungsi dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota”. Tampak jelas bahwa rumusan Pasal 192 (2) PP Nomor 17 Tahun 2010 merupakan penjabaran dari Pasal 56 (3) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang di dalam Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah disebutkan sebagai peran dan fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Sementara dalam Pasal 192 (3) disebutkan bahwa fungsi Dewan Pendidikan adalah meningkatkan mutu layanan pendidikan. Dengan cara bagaimana fungsi tersebut dapat dilakukan oleh Dewan Pendidikan? Ternyata fungsi Dewan Pendidikan masih juga  dilakukan dengan tiga peran, yaitu (1) memberikan pertimbangan, yang dalam Buku Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah disebut peran advisory agency atau badan yang memberikan pertimbangan, (2) memberikan arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, yang di dalam Buku Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah disebut sebagai suporting agency atau badan yang memberikan dukungan, serta (3) melakukan pengawasan pendidikan, sekali lagi yang dalam Buku Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dikenal dengan controlling agency atau badan yang melakukan pengawasan. Secara tegas, Pasal 192 (3) dinyatakan bahwa Dewan Pendidikan menjalankan fungsinya secara mandiri dan profesional, dalam arti tidak dapat dipengaruhi dan diitervensi oleh pihak lain, termasuk oleh unsur birokrasi pendidikan.
3.Tugas Dewan Pendidikan
Dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 dijelaskan dengan lebih gamblang bahwa Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah mempunyai fungsi memberikan pertimbangan kepada birokrasi pendidikan. Pelaksanaan fungsi ini tidak akan dapat dilakukan jika Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tidak memiliki data dan informasi atau bahan yang digunakan untuk memberikan pertimbangan itu. Oleh karena itu, dalam Pasal 192 (4) dijelaskan tentang tugas untuk memperoleh data dan informasi yang akan diserahkan sebagai bahan pertimbangan. Pasal ini menyebutkan bahwa: ”Dewan Pendidikan bertugas menghimpun, menganalisis, dan memberikan rekomendasi kepada Menteri, gubernur, bupati/walikota terhadap keluhan, saran, kritik, dan aspirasi masyarakat terhadap pendidikan”. Dalam ayat berikutnya, Pasal 192 (5) disebutkan bahwa ”Dewan Pendidikan melaporkan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada Pasal 192 (4) kepada masyarakat melalui media cetak, elektronik, laman, pertemuam, dan/atau bentuk lain sejenis sebagai pertanggungjawaban publik”.
Sungguh, pertanggungjawaban pelaksanaan tugas yang sangat akuntabel, dan ternyata sistem ini sama persis dengan yang telah dilakukan oleh Board of Education di Amerika Serikat. Board of Education negara bagian Illinois, sebagai contoh, membuat laporan pertanggungjawaban tahunannya kepada masyarakat negara bagian Illinois sebagai berikut: To the community of State of Illinois ..... Oleh karena itu, ketentuan Pasal 192 (5) tentang laporan pertang-gungjawaban publik kepada masyarakat merupakan ketentuan yang sangat patut dapat benar-benar dilaksanakan. Laporan pertanggungjawaban itu harus dibuat secara tertulis, dan laporan pertanggungjawaban itu disampaikan kepada masyarakat melalui media cetak, elektronik, laman (website), pertamuan, atau bentuk lainnya.
4.Unsur  menjadi pengurus Dewan Pendidikan
Unsur apa saja yang dapat menjadi pengurus Dewan Pendidikan dijelaskan dalam Pasal 192 (6), yakni sebagai berikut: (a) pakar pendidikan, (b) penyelenggara pendidikan, (c) pengusaha, (d). organisasi profesi, (e) pendidikan berbasis kekhasan agama atau sosial-budaya; dan (f) pendidikan bertaraf internasional, (g) pendidikan berbasis keunggulan lokal; dan/atau (h) organisasi sosial kemasyarakatan.
Dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 juga disebutkan tentang proses rekrutmen pengurus Dewan Pendidikan Nasional, Dewan Pendidikan Provinsi, Dewan Pendidikan Kabupaten/ Kota, dan Komite Sekolah. Jumlah anggota pengurus Dewan Pendidikan Nasional paling banyak 15 orang, Dewan Pendidikan Provinsi paling banyak 13 orang, Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota paling banyak 11 orang, dan untuk Komite Sekolah paling banyak 15 orang. Proses pembentukan dan pemilihan pengurus Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah juga dijelaskan dalam beberapa pasal dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 tersbut, yakni dilakukan oleh Panitia Pemilihan yang dibentuk untuk itu. Panitia Pemilihan melakukan rekruitmen sebanyak dua kali jumlah calon pengurus yang akan ditetapkan.
Panitia Pemilihan Dewan Pendidikan Nasional memilih dan mengajukan 30 orang calon pengurus kepada Menteri Pendidikan Nasional untuk kemudian Menteri Pendidikan Nasional menetapkan SK Dewan Pendidikan Nasional. Demikian juga, Panitia Pemilihan Dewan Pendidikan Provinsi memilih dan mengajukan 26 orang calon pengurus kepada gubernur untuk kemudian gubernur menetapkan SK Dewan Pendidikan Provinsi. Panitia Pemilihan Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota memilih dan mengajukan 22 orang calon pengurus kepada bupati/walikota untuk kemudian bupati/walikota menetapkan SK Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota. Hal yang sama, Panitia Pemilihan Komite Sekolah memilih dan mengajukan 30 orang calon pengurus Komite Sekolah, untuk kemudian kepala sekolah menetapkan SK Komite Sekolah. Lebih dari itu, proses rekrutmen yang dilakukan untuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah harus diumumkan secara terbuka melalui medie cetak, elektronik, dan laman.
Tampak dalam ketentuan  bahwa jumlah pengurus Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah berjumlah gasal, dengan maksud agar bisa dilakukan pengungutan suara dalam proses pengambilan keputusan, termasuk dalam pemilihan pengurus Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, khususnya ketua dan sekretaisnya, setelah proses pemilihan secara mufakat tidak dapat dilakukan. Selain itu, khusus untuk pemilihan pengurus Dewan Pendidikan Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota, proses pengusulan calon pengurus tersebut harus mendapatkan persetujuan dari (a) organisasi profesi pendidik, (b) organisasi profesi lain, atau (c) organisasi kemasyarakatan.
5.Anggaran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah
Satu aspek yang banyak ditanyakan adalah tentang sumber dana atau anggaran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Selama ini, Dewan Pendidikan melaksanakan kegiatan operasionalnya dengan dana subsidi dari pemerintah pusat dan sebagian juga berasal dari anggaran dari pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. Bahkan, pada tahun ini subsidi stimulan Dewan Pendidikan pun tidak diberikan lagi karena alasan keterbatasan anggaran. Dalam aspek anggaran ini, PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan menyebutkan pada Pasal 192 (13) bahwa ”Pendanaan dewan pendidikan dapat bersumber dari (a) pemerintah, (b) pemerintah daerah, (c) masyarakat, (d) bantuan pihak asing yang tidak mengikat, dan/atau (e) sumber lain yang sah. Sumber dana tersebut juga secara eksplisit disebutkan untuk komite Sekolah.
Sangat disayangkan, ketentuan tentang anggaran ini telah menggunakan ”pasal karet” yang tertulis ”dapat bersumber”. Kalimat hukum seperti itu seyogyanya tidak digunakan. Pasal dengan nada yang mengharuskan saja belum tentu dilaksanakan secara bertanggung jawab, apalagi dengan kata ”dapat”. Selain itu, perihal sumber anggaran ini sebenarnya secara eksplisit perlu disebutkan sumber anggaran yang selama ini telah ikut menghidupi Dewan Pendidikan, yakni dari DUDI (dunia usaha dan dunia industri), khususnya dari sumber dana yang dikenal dengan CSR (corporate social responsibility). Dalam hal ini, perusahaan memiliki kewajiban untuk menyisihkan sedikit keuntangannya untuk kepentingan masyarakat, termasuk kepentingan pendidikan. Beberapa Dewan Pendidikan sudah mulai melaksanakan kerja sama dengan DUDI ini, dan beberapa di antaranya sudah berhasil.
6.Larangan dan Pengawasan
Dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan ini juga terdapat ketentuan tentang larangan dan pengawasan. Kegiatan apa saja yang tidak boleh dilakukan oleh Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah? Dewan pendidikan dan/atau komite sekolah/madrasah, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang:
  1. menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan;
  2. memungut biaya bimbingan belajar atau les dari peserta didik atau orang tua/walinya di satuan pendidikan;
  3. mencederai integritas evaluasi hasil belajar peserta didik secara langsung atau tidak langsung;
  4. mencederai integritas seleksi penerimaan peserta didik baru secara langsung atau tidak langsung; dan/atau
  5. melaksanakan kegiatan lain yang mencederai integritas satuan pendidikan secara langsung atau tidak langsung.
Larangan ini harus dimaknai sebagai upaya untuk menjauhkan diri dari kemungkinan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah ikut-ikutan menumbuhsuburkan praktik korupsi dan KKN dalam pelaksanaan peran dan tugasnya untuk meningkatkan layanan pendidikan. Jangan sampai terjadi karena dengan alasan untuk melaksanakan peran dan tugasnya, lalu Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah juga melakukan cara-cara yang penuh nuansa koruptif dan KKN tersebut.
Malahan, kita memperhatikan bahwa Dewan Pendidikan lebih diposisikan sebagai agen pengawasan yang andal. Oleh karena itu Pasal 199 (1) menyebutkan bahwa: ”Pengawasan pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah”. Bahkan, pengawasan itu meliputi dua aspek penting, yakni pengawasan administratif dan pengawasan dari segi teknis edukatif yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku. Sudah barang tentu, pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah bukanlah sebagai pengawasan fungsional, sebagaimana yang harus dilakukan oleh BPK, BPKP, Inspektorat Jenderal, maupun pengawas fungsional yang lain di tingkat daerah.
Pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Penididkan danKomite Sekolah adalah jenis pangawasan sosial atau masyarakat. Namun demikian, Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah bisa saja meminta kepada lembaga independent auditor untuk membantu tugas Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, atas nama wadah peran serta masyarakat.
D.Akuntabilitas Pendidikan
Ide pengalihan status dan peran pengawasan pendidikan menjadi akuntabilitas pendidikan dari pemerintah kepada masyarakat, menarik untuk dicermati. Pertama, bila pengawasan bersifat administratif dan dilakukan oleh birokrasi,pengalihan status dan peran pengawasan itu akan berdampak luas. Sebab, secara substantif, pengawasan dan pertanggungjawaban adalah dua unsur yang berbeda.
Oleh karena itu, pengalihan fungsi dan peranan pengawasan menjadi pertanggungjawaban akan berarti terjadi defungsionalisasi lembaga pengawasan pada birokrasi pendidikan. Akibatnya tidak hanya inspektorat jenderal yang akan kehilangan fungsi, tetapi para pengawas/penilik sekolah di daerah pun akan kehilangan pekerjaan.
Dari sisi kebutuhan organisasi, ide ini positif guna merampingkan birokrasi dan kewenangannya, dengan menyisakan fungsi Departemen Pendidikan Nasional sebagai perumus kebijakan an sich. Akan tetapi, dari sisi kemanfaatan sumber daya manusia, diperlukan reposisi peran para pengawas/penilik sekolah. Sebab jabatan pengawas/penilik merupakan jabatan fungsional, sehingga secara normatif mereka merupakan tenaga profesional.
Kedua, kenyataan bahwa sekolah (negeri) masih "menyusu" kepada dua "ibu" mengakibatkan alur pertanggungjawaban bersifat ambivalen. Merujuk Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990, kepala sekolah (SLTP dan SLTA) bertanggung jawab kepada menteri. Ini masuk akal, sebab pengangkatan kepala sekolah (negeri) dilakukan oleh pemerintah. Tetapi bentuk pertanggungjawabannya sumir alias tidak jelas. Sejauh yang dapat diamati, laporan pertanggungjawaban sekolah hanya tampak pada penggunaan dana evaluasi belajar tahap akhir nasional (ebtanas). Laporan pertanggungjawaban atas pengelolaan pendidikan yang lebih komprehensif tidak muncul. Di samping itu, mengingat betapa panjang jalur pertanggungjawaban dari sekolah kepada menteri, hal itu niscaya tidak efisien.
Pada sisi lain, karena masyarakat-yang tercermin pada Badan Pembantu Penye-lenggara Pendidikan (BP3)-juga memberikan subsidi kepada sekolah, maka wajar juga sekolah mempertanggungjawabkan pengelolaan subsidi tersebut. Tetapi bentuk akuntabilitasnya berwarna abu-abu alias tidak jelas pula. Laporan pendidikan yang disampaikan pihak sekolah hanya dipresentasikan dengan penerimaan buku rapor; sedangkan pertanggungjawaban keuangan tidak dilakukan oleh kepala sekolah tetapi oleh pengurus BP3.
Merujuk Pasal 17 Keputusan Mendikbud Nomor 0293 Tahun 1993, akuntabilitas kepala sekolah kepada masyarakat tidak dalam kapasitasnya sebagai kepala sekolah tetapi sebagai pembina BP3. Padahal, sekolah mengelola sepenuhnya iuran rutin yang berasal dari masyarakat itu. Karena itu ide tentang perubahan bentuk pengawasan menjadi akuntabilitas pendidikan dalam konteks penerapan manajemen berbasis sekolah perlu mendapat apresiasi positif.
Mekanisme Pengalihan Akuntabilitas
Mekanisme pengalihan bentuk pengawasan menjadi akuntabilitas pendidikan tentu membutuhkan sejumlah persyaratan. Pertama, kehadiran Dewan Sekolah yang seharusnya dilahirkan melalui peraturan daerah diharapkan dapat memutus pola hubungan segitiga antara sekolah-pemerintah-masyarakat. Dengan demikian pertanggungjawaban pendidikan hanya diberikan kepada Dewan Sekolah.
Ini berarti, pengangkatan kepala sekolah menjadi wewenang Dewan Sekolah. Dewan ini jugalah yang menggaji guru dan karyawan serta seluruh komponen pembiayaan sekolah melalui kewenangan menentukan alokasi anggaran pendidikan yang berasal dari RAPBD.Yang menjadi masalah adalah bahwa-sejauh wacana yang berkembang pada "Forum Otonomi Pendidikan"-timbul kesan daerah-daerah masih "adem ayem" dalam mempersiapkan pelaksanaan MBS. Bukan hanya karena model ini masih dalam taraf uji coba, suprastruktur politik di daerah pun agaknya masih mengalami eforia otonomi daerah dengan keasyikan dirinya.
Munculnya akronim DPRD sebagai lembaga yang "Doyan Piknik dan Rekreasi Doang", atau kasus dugaan korupsi dalam pengadaan sepeda motor di tubuh DPRD di Jawa Tengah, setidaknya menjadi pertanda kurangnya komitmen pada pemberhasilan otonomi pendidikan.
Kedua, kesiapan masyarakat dalam menerima akuntabilitas pendidikan dari pihak sekolah. Bila keanggotaan Dewan Sekolah diasumsikan berasal dari masyarakat pemakai jasa pendidikan di sekolah, maka terasa perlu upaya "pencerdasan" masyarakat. Di daerah-daerah yang masyarakatnya berbasis kehidupan pe-tani, hanya dikenal satu idiom pendidikan ketika mereka diundang dalam rapat BP3, yakni berapa besar "uang gedung" yang mesti dibayarkan?
Bagi mereka, tidak begitu penting materi pertanggungjawaban yang disampaikan oleh pengurus BP3. Karena itu, berbekal penguasaan psikologi massa, pengurus BP3 dengan mudah memperoleh persetujuan secara aklamasi dalam rapat yang hampir tidak pernah efisien itu. Inilah agenda penting yang mesti dilakukan bila akuntabilitas pendidikan akan diterimakan pada masyarakat















Pertanyaan :
1.      Mengapa MBS dikatakan paradigma baru ?
2.      Apakah sistem MBS efektif (dalam penerapannya) ? dan bagaimana dengan sekolah-sekolah yang ada di pedalaman !
3.      Bagaimana cara mengaktifkan kenbali masyarakat yang tinggal dikawasan sekolah gratis (notabene dikelola pihak sekolah) ?
4.      Apa saja hal-hal ynag menyebabkan terjadinya Reformasi pendidikan ?
5.      Apa yang dimaksud dengan desentralisasi dan akuntabilitas pendididkan ?
6.      Apa guna disentralisasi ? dan apakah pemerintah telah melakukan desentralisasi ?
Yang bertanya :
1.      Mariatul husna
2.      Elfa
3.      Lilik Fitriana Sari
4.      Tiara Amelia
5.      Ayi Reni Rahmawati
6.      Edwar Edy Hardadi

Jawaban :
1.      MBS dikatakan paradikma baru karena kita tau bahwa paradikama


Tidak ada komentar:

Posting Komentar