BAB I
PEMBAHASAN
1..Reformasi Pendidikan
Krisis yang dialami bangsa Indonesia baik ekonomi,
politik dan keamnan belum juga dapat di atasi. Berbagai krisis tersebut di atas
berdampak negatif terhadap dunia pendidikan dengan memunculkan keseimbangan baru
pendidikan. Pada keseimbangan baru ini, pelayanan pendidikan tidak dapat
dilaksanakan dengan menggunakan cara seperti biasa (bussines as ussual). Orientasi pelayanan pendidikan dengan
menggunakan cara berfikir lama tidak dapat diterapkan dengan begitu saja, dan
bahkan mungkin tidak dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan pendidikan
pada keseimbangan baru ini. Cara-cara berpikir baru dan terobosan-terobosan
baru harus diperkenalkan dan diciptakan untuk mengatasi permasalahan pendidikan
pada saat ini dan di masa mendatang. Dengan kata lain, reformasi pendidikan
merupakan suatu imperative action.
Reformasi pendidikan adalah
proses yang kompleks, berwajah majemuk dan memiliki jalinan tali-temali yang
amat interaktif, sehingga reformasi pendidikan memerlukan pengerahan segenap
potensi yang ada dan dalam tempo yang panjang. Betapa kompleksnya reformasi
pendidikan dapat difahami karena tempo yang diperlukan amat panjang, jauh lebih
panjang apabila dibandingkan tempo yang diperlukan untuk melakukan reformasi
ekonomi, apalagi dibandingkan tempo yang diperlukan untuk reformasi politik.
Seminar reformasi di Jerman Timur yang diselenggarakan sehabis tembok Berlin
diruntuhkan mencatat bahwa untuk reformasi politik diperlukan waktu cukup enam
bulan. Untuk reformasi ekonomi diperlukan waktu enam tahun, dan untuk reformasi
pendidikan diperlukan waktu enam puluh tahun. Sungguhpun demikian, hasil dan
produk setiap fase atau periode tertentu dari reformasi pendidikan harus dapat
dipertanggung jawabkan. Di samping itu, yang lebih penting adalah reformasi
pendidikan harus memberikan peluang (room for manoeuvre) bagi siapapun yang
aktif dalam pendidikan untuk mengembangkan langkah-langkah baru yang
memungkinkan peningkatan mutpendidikan.
Reformasi
pendidikan pada dasarnya memiliki tujuan agar pendidikan dapat berjalan lebih
etektif dan efisien mencapai tujuan pendidikan nasional. Untuk itu dalam
reformasi dua hal yang perlu dilakukan: a) mengidentifikasi atas berbagai
problem yang menghambat terlaksananya pendidikan, dan, b) merumuskan reformasi
yang bersifat strategik dan praktis sehingga dapat diimplementasikan di
lapangan. Oleh karena itu, kondisi yang diperlukan dan program aksi yang harus
diciptakan merupakan titik sentral yang perlu diperhatikan dalam setiap reformasi
pendidikan. Dengan kata lain, reformasi pendidikan harus mendasarkan pada
realitas sekolah yang ada, bukan mendasarkan pada etalase atau jargon-jargon
pendidikan semata. Reformasi hendaknya didasarkan fakta dan hasil penelitian
yang memadai dan valid, sehingga dapat dikembangkan program reformasi yang
utuh, jelas dan realistis.
Apa syarat utama yang harus dipenuhi untuk dapat mencapai
tujuan reformasi yang memadai? Terdapat tuntutan yang merupakan keharusan untuk
dipenuhi agar reformasi dapat berjalan mencapai tujuan. Meskipun demikian, tidak
ada senjata pamungkas yang dapat memastikan keberhasilan reformasi. Pendekatan
sistemik mengisyaratkan agar dalam reformasi tidak ada faktor yang tertinggal.
Reformasi harus menekankan pada faktor kunci yang akan mempengaruhi
faktor-faktor lain secara simultan, sehingga reformasi akan melibatkan seluruh
faktor 'yang penting, dan menempatkan semua faktor tersebut dalam suatu sistem
yang bersifat organik.
Implementasi
reformasi pendidikan yang berada di antara kebijakan publik dan kebijakan yang
mendasarkan pada mekanisme pasar tersebut, memusatkan pada empat dimensi:
Dimensi Kultural-Fondasional, dimensi Politik-Kebijakan, dimensi
Teknis-Operasional, dan dimensi Kontekstual.
A. Dimensi fondasional kultural
Dimensi kultural berkaitan
dengan nilai, keyakinan dan norma-norma berkaitan dengan pendidikan, seperti
apa sekolah itu?, siapa guru itu? Seberapa jauh materi yang harus dipelajari
oleh siswa? dan, siapa siswa itu? Siapa yang memiliki kekuasaan untuk
mengontrol sekolah? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menentukan
gambaran fungsi dan tanggung jawab serta peranan komponen sekolah: kepala
sekolah, guru, pegawai administrasi, siswa, bahkan orang tua siswa.
Secara khusus, reformasi
pendidikan ditunjukkan oleh perilaku dan peran baru siswa khususnya dalam
proses belajar dan mengajar di sekolah. Perubahan pada diri siswa tersebut
sebagai hasil adanya perubahan perilaku pada diri guru dalam melaksanakan
proses belajar mengajar khususnya, dan perubahan iklim sekolah pada umumnya.
Perubahan perilaku guru
merupakan perubahan pada aspek teknis yang dapat disebabkan oleh aspek politik.
Namun, reformasi pendidikan tidak dan lebih dari sekedar dimensi teknis dan
politik, melainkan harus meletakkan dimensi kultural dalam proses reformasi.
Sayangnya, aspek kultural merupakan sesuatu yang bersifat relatif abstrak
sekaligus sulit untuk dikendalikan. Aspek kultural dapat dibangun dan
dikembangkan berdasarkan nilai-nilai dan keyakinan yang ada dalam dunia
pendidikan itu sendiri. Nilai-nilai dan keyakinan ini merupakan inti dari
reformasi pendidikan.
Berkaitan dengan dimensi
kultural ini, sekolah harus diperlakukan sebagai suatu institusi yang memiliki
otonomi dan kehidupan (organik), bukan sekedar institusi yang merupakan bagian
dari suatu sistem yang besar (mekanik). Sebagai suatu sistem organik, sekolah
dapat dilihat sebagai tubuh manusia yang memiliki sifat kompleks dan terbuka
yang harus didekati dengan sistem thinking. Artinya, dalam
pengelolaannya sekolah harus dilihat sebagai suatu kesatuan yang utuh.
Perbaikan dalam suatu aspek sekolah harus mempertimbangkan aspek yang lain.
Dengan pendekatan sistem thinking tersebut dapat diidentifikasi
struktur, umpan balik, dan dampak, seperti:
a)
keterbatasan perubahan pendidikan,
b)
pergeseran sasaran reformasi pendidikan,
c)
perkembangan pendidikan, dan
d)
sektor pendidikan yang kurang dijamah.
B. Dimensi politik-kebijakan
Dimensi
politik berkaitan dengan otoritas, kekuasaan dan pengaruh, termasuk di dalamnya
negosiasi untuk memecahkan konflik-konflik dan isu-isu pendidikan. Aspek
politik dari reformasi pendidikan amat kompleks. Reformasi memiliki wajah
plural yang satu sama lain saling berinteraksi. Keberhasilan dalam
mengendalikan aspek politik ini ditunjukkan dengan adanya berbagai kebijakan
tetapi satu kebijakan dengan yang lain saling melengkapi, menuju arah tunggal:
meningkatkan kemajuan pendidikan. Juga, ditunjukkan oleh adanya serangkaian
kebijakan di mana kebijakan yang kemudian melengkapi kebijakan sebelumnya.
Dimensi
politik ini tidak sekedar adanya hak-hak politik warga sekolah, khususnya guru
dan kepala sekolah, tetapi memiliki pengertian yang lebih luas. Yakni,
penekanan pada adanya kebebasan atau otonomi sekolah, khususnya dalam kaitan
dengan masyarakat sekitarnya. Dengan otonomi yang dimiliki sekolah, keberadaan
sekolah akan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat
sekitararnya. Sekolah tidak terlalu menggantungkan pada birokrasi di atas,
tetapi sebaliknya sekolah lebih bertumpu pada kekuatan masyarakat sekitar. Untuk
itu, keberadaan Pemimpin Lokal di samping kepemimpinan Kepala Sekolah merupakan
kunci dari keberhasilan sekolah.
Pemimpin Lokal, tokoh masyarakat
dan Kepala Sekolah harus senantiasa memberdayakan (empowering) guru, antara
lain dengan tidak banyak memberikan instruksi atau petunjuk melainkan
memberikan tantangan, insentif dan penghargaan dalam melaksanakan misi sekolah.
Keberhasilan reformasi pendidikan ditentukan oleh keberhasilan dalam
memberdayakan guru. Yakni, guru memiliki otonomi profesional dan kekuasaan
untuk menentukan bagaimana visi dan misi sekolah harus diujudkan dalam praktek
sehari-hari. Pemberdayaan guru ini akan memungkinkan mereka memadukan apa yang
mereka yakini dengan agenda aksi reformasi.
Sekolah yang baik senantiasa
memiliki visi dan misi. Visi dan misi sekolah harus difahami oleh semua guru
dan merupakan landasan kerja bersama yang diharapkan dapat memberikan kekuatan
dalam melaksankan misi di atas Dengan demikian di sekolah akan dapat dibangun
suatu iklim kerjasama di antara warga sekolah, khususnya di kalangan guru.
Kerjasama di antara guru ini akan memperkuat proses pemberdayaan guru.
Pemberdayaan guru perlu
dilakukan pula lewat pemberian kesempatan dan dorongan bagi para guru untuk
selalu belajar menambah ilmu. Proses pembelajaran sepanjang waktu bagi guru
merupakan keharusan, dan menjadi titik pusat dalam reformasi pendidikan. Proses
pembelajaran (learning) terjadi manakala guru memiliki kewenangan dan
kesempatan untuk mengembangkan visi mereka sendiri tentang bagaimana perubahan
yang diperlukan dalam mewujudkan pendidikan yang lebih baik.
C.
Dimensi teknis operasional
Dimensi teknis berkaitan dengan pengetahuan
dan kemampuan profesional dan bagaimana keduanya dapat dikuasai oleh pendidik.
Dengan kata lain, aspek teknis dipusatkan pada kemauan dan kemampuan guru untuk
melakukan reformasi pada dimensi kelas atau melaksanakan proses belajar
mengajar sebagaimana dituntut oleh reformasi. Sudah barang tentu hal ini
menuntut adanya perubahan perilaku baik siswa, kepala sekolah dan juga di
lingkungan kantor pendidikan selaku fihak yang memiliki wewenang untuk.
merumuskan kebijakan pendidikan.
Kemampuan guru yang dituntut
dalam setiap reformasi pendidikan pada umumnya adalah kemampuan penguasaan
materi kurikulum dan kemampuan paedagogik. Orientasi kurikulum harus lebih
menitikberatkan pada penguasaan akan konsep-konsep pokok, dan lebih menekankan
berbagai hubungan antar konsep-konsep tersebut, serta lebih menekankan pada
cara bagaimana peserta didik menguasai konsep dan hubungan untuk dikaitkan
dengan realitas kehidupan masyarakat dibandingkan hanya menguasai
serpihan-serpihan pengetahuan dan kumpulan fakta.
Di samping kurikulum harus
disempurnakan, guru harus memahami dan memiliki motivasi untuk mempergunakan
pendekatan dan cara mengajar yang lebih alami, asli dan menarik. Untuk itu
perlu dikembangkan tim kerja yang melibatkan guru dan ahli. Misal lewat MGMP
seminar, pelatihan dan lewat media cetak dan elektronik. Tujuan dari itu semua
adalah meningkakan komunikasi akademik baik di kalangan guru sendiri maupun
dengan kalangan luar sekolah. Dengan komunikasi ini diharapkan secara
berkesinambungan para guru akan mengembangkan kemampuan dan pengetahuannya
sendiri.
D.
Dimensi kontekstual
Pendidikan tidak berproses dalam
suasana vakum dan tertutup, namun terbuka, senantiasa berinteraksi dengan
aspek-aspek lain yang berada di luar pendidikan. Aspek-aspek lain tersebut
dapat memiliki dampak positif maupun negatif bagi pendidikan. Aspek-aspek
tersebut antara lain: a) kepedulian masyarakat terhadap pendidikan, b)
perkembangan media massa, dan c) sistem politik pemerintahan.
Keberhasilan reformasi pendidikan
juga ditentukan oleh seberapa besar dukungan masyarakat. Warga masyarakat,
khususnya mereka orang tua siswa yang memiliki kelebihan dalam harta dan
pendidikan perlu dilibatkan dalam proses reformasi sejak awal. Dukungan
masyarakat pada umumnya, dan orang tua siswa khususnya tidak sebatas dukungan
finansial, tetapi jauh lebih luas. Termasuk antara lain dukungan orang tua
siswa. dalam bentuk partisipasi untuk meningkatkan proses pembelajaran.
Untuk itu, orang tua siswa
khususnya dan tokoh-tokoh masyarakat pada umumnya, perlu diajak memahami visi
dan misi sekolah, dan mengambil peran dalam melaksanakan misi sekolah sesuai
dengan keyakinan dan kemampuan mereka sendiri.
Empat
aspek di atas: Kultural-Fondasional, Politik-Kebijakan, Teknis-Operasional dan dimensi kontekstual dapat disilangkan
dengan empat fokus: a) kondisi riil masa kini, b) hakekat reformasi atau
reformasi yang ingin dicapai, c) penghambat untuk terlaksananya reformasi, dan
d) program aksi yang perlu dikembangkan untuk muwujudkan tujuan reformasi,
dapat diujudkan dalam matriks analisis reformasi sebagai berikut.
MATRIKS REFORMASI PENDIDIKAN
|
Kondisi Masa Kini
|
Esensi Reformasi
|
Faktor Penghambat
|
Program Aksi
|
Aspek Teknis
|
Pengajaran one way direction dan
tidak dapat merangsang peserta didik belajar keras. Daya serap siswa atas
kurikulum sangat rendah
|
Meningkatkan kemampuan dan
kreatifitas guru, mengembangkan sistem komunikasi professional di kalangan
guru sehingga menjadi “a Learning Teacher”. Mengembangkan kurikulum
yang menekankan pada konsep pokok dan keterkaitan di antara konsep tersebut
yang terintegrasi ke dalam satuan yang bersifat utuh dan fleksibel. Mengembangkan
norma baru tentang peran dan perilaku baru siswa dalam pembelajaran, mengembangkan
dan membiasakan sistem kolaborasi dalam proses pembelajaran.
|
Kualitas dan kemampuan guru kurang
siap untuk melaksanakan PBM yang lebih bermakna (kolaborasi, constrctivist).
Kurikulum sarat materi. Penguasaan kurikulum oleh guru belum sebagaimana di
harapkan.
Siswa terbiasa belajar dengan
mendengar, menghafal, dan mengerjakan ujian dengan pilihan ganda.
Resistensi di kalangan guru untuk
melaksanakan feformasi.
|
Meningkatkan sistem In service
Training yang lebih komprehensif.
Memperbanyak forum bagi guru untuk
meningkatkan kemampuan profesional, seperti seminar, penerbitan majalah/Jurnal
Guru secara berkala, sehingga tidak ketinggalan dalam perkembangan ilmu
pengetahuan.
Membekali para guru dengan kemapuan
penelitian aksi, sehingga guru dapat terus menerus mengevaluasi dan meningkatkan
keterampilan mengajar.
|
Aspek Politis
|
Manajemen sentralistis birokratis.
Kepala Sekolah terbiasa bergantung
keatas.
Inovasi pada dimensi sekolah amat
rendah.
|
Menciptakan sistem persekolahan
dimana masing-masing sekolah memiliki otonomi yang luas dalam mencapai tujuan
pendidikan nasional.
Mengembangkan kepemimpinan Kepala
Sekolah dengan sifat-sifat inovatif.
Mendorong Kepala Sekolah untuk
senentiasa berupaya memberdayakan guru.
Menjadikan Fungsi pokok Departemen
Pendidikan, Kanwil dan Kandep lebih menekankan sebagai pendukung dan
pelayanan kebutuhan sekolah untuk mencapai program nasional.
|
Tidak adanya konsesus yang jelas
dan terbuka berkenaan dengan arah dan tujuan reformasi pendidikan di kalangan
luas masyarakat.
Pola kepemimpinanpaternalistik.
|
Memberikan kewenangan yang luas
bagi Kepala Sekolah dalam menjalankan program nasional sesuai sekolah
masing-masing. Seperti, merumuskan visi dan missi sekolah, mengelola sumber-sumber,
dan menentukan sasaran dan target sekolah.
|
Aspek Kultur
|
Kreatifitas dan inisiatif rendah.
Kepemimpinan kepala sekolah gaya
komando. Kultur sekolah tidak kondusif untuk mencapai prestasi (sasaran persaingan,
kurang kerjasama, tidak terbuka, guru terlalu aktif, siswa kurang disiplin
dan belajar keras.
|
Mengembangkan norma baru tentang
peran dan perilaku.
Mengembangkan dan membiasakan
sistem kolaborasi dalam proses pembelajaran.
|
Fokus sekolah terlalu menekankan
NEM, dan mengabaikan aspek yang lain.
|
Mengembangkan sistem insentif dan rewards
bagi upaya-upaya inovatif.
Mengembangkan sistem penghargaan
atas keberhasilan guru dan siswa yang tidak saja di bidang prestasi intelektual
tetapi juga pada bidang-bidang yang lain.
Mengembangkan suasana kebersamaan
di samping suasana kompetitif di sekolah.
|
Aspek Kontekstual
|
Terpisah dari masyarakatnya.
Dukungan masyarakat rendah.
Faktor negatif lingkungan amat
besar (TV, Film, dll)
|
Mengembangkan iklim hubungan
sekolah dan masyarakat yang kuat, sehingga sekolah memiliki basis dan menyatu
dengan masyarakat sekitar.
|
Sebahagian besar siswa berasal
dari tempat yang jauh dari sekolah.
Masih besar rasa ketidakpercayaan
penggunaan fasilitas sekolah oleh masyarakat sekitar.
Masyarakat tidak melihat sekolah
bagian dari mereka.
|
Memberikan kesempatan
seluas-luasnya partisipasi orang tua siswa dan masyarakat sesuai dengan
kemampuan mereka.
|
E.Sekolah mandiri
Reformasi pendidikan memiliki bentuk
konkret pada dimensi individu (guru dan siswa), dimensi sekolah, dimensi
masyarakat atau makro. SEKOLAH MANDIRI salah satu bentuk konkret dari reformasi
pendidikan pada dimensi sekolah. Yakni, suatu kebijakan yang menempatkan
pengambilan keputusan pada mereka yang terlibat langsung pada proses
pendidikan: Kepala Sekolah, guru, orang tua siswa dan masyarakat. Kebijakan ini
akan membawa dampak tidak saja pada manajemen sekolah, tetapi juga pada
implementasi kurikulum dan proses belajar mengajar yang dilaksanakan. Sebab,
tanpa ada perubahan pada proses belajar mengajar, apapun yang dilaksanakan di
sekolah tidak akan banyak artinya. Perubahan tidak akan banyak artinya tanpa
melibatkan aparat sekolah secara keseluruhan.
Sekolah mandiri tidak berarti tanpa
kendali. Melainkan mandiri dalam konteks sistem-pendidikan nasional. Sekolah
memiliki kemandirian dalam melaksanakan rekayasa untuk menjabarkan dan mencapai
tujuan yang telah ditetapkan secara nasional, tanpa meninggalkan latar belakang
dan karakteristik kondisi lokal setempat. Untuk itu sekolah mandiri memiliki
kultur, kebiasaan dan cara kerja baru yang berbeda dengan kebiasaan dan tata
cara kerja sekolah dewasa ini. Kultur, kebiasaan-kebiasaan dan tata cara kerja
baru ini akan mempengaruhi perilaku seluruh komponen sekolah: Kepala Sekolah,
guru, pegawai administrasi dan siswa. Bahkan, dalam jangka panjang, kebiasaan
dan tata cara kerja baru ini akan berpengaruh di kalangan orang tua siswa dan
masyarakat. Kultur, kebiasaan, dan tata cara kerja baru tersebut antara lain:
a)
setiap sekolah memiliki visi dan misi,
b)
sekolah memiliki program yang mendasarkan pada data kuantitatif,
c)
sekolah merupakan sistem organik,
d)
sekolah memiliki kepemimpinan mandiri,
e)
sekolah memiliki program pemberdayaan bagi seluruh komponen sekolah,
f)
sekolah merupakan kegiatan pelayanan jasa dengan tujuan utama memberikan
kepuasan maksimal bagi siswa, orang tua
siswa dan masyarakat selaku konsumen, dan,
g)
sekolah mengembangkan "Trust" (Kepercayaan) sebagai landasan
interaksi internal maupun eksternal seluruh warga sekotah.
F.
Ciri sekolah mandiri
Sekolah
Mandiri tidak hanya diartikan dengan membentuk suatu lembaga di sekolah dengan
wewenang tertentu seperti anggaran dan kurikulum. Dengan telah dibentuknya
lembaga ini belum tentu sekolah sudah memahami tanggung jawab dan peran yang
baru dalam mengelola sekolah, dan akan mengambil langkah-langkah untuk
meningkatkan mutu sekolah. Dengan singkat dikatakan, bahwa implementasi Sekolah
Mandiri memerlukan suatu bentuk kesadaran baru dalam menjalankan roda
organisasi sekolah. Kepala sekolah beserta guru harus memiliki otonomi dan
otoritas yang memadai, dan instruksi serta petunjuk dari kantor pendidikan
harus dikurangi. Sejalan dengan itu, berbagai sumber daya perlu disebarluaskan
sampai pada dimensi sekolah. Seperti, informasi prestasi siswa dan kepuasan
orang tua siswa dan masyarakat, serta sumber-sumber yang tersedia perlu
disampaikan pada dimensi sekolah sehingga sekolah memiliki pertimbangan yang
jelas dalam menentukan kegiatan.
G.
Visi
dan misi
Sekolah
harus megembangkan visi dan misi sendiri. Visi suatu sekolah merupakan suatu
pandangan atau keyakinan bersama seluruh komponen sekolah akan keadaan masa
depan yang diinginkan. Keberadaan visi ini akan memberikan inspirasi dan
mendorong seluruh warga sekolah untuk bekerja lebih giat. Visi sekolah harus
dinyatakan dalam kalimat yang jelas, positif, realistis, menantang, mengundang
partisipasi, dan menunjukkan gambaran masa depan.
Misi erat berkaitan dengan visi.
Kalau visi merupakan pernyataan tentang gambaran global masa depan, maka misi
merupakan pernyataan formal tentang tujuan utama yang akan direalisir. Jadi
kalau visi merupakan ide, cita-cita dan gambaran di masa depan yang tidak
terlalu jauh, maka misi merupakan upaya untuk konkritisasi visi dalam ujud
tujuan dasar yang akan diujudkan.
Visi dan misi sekolah merupakan
penjabaran atau spesifikasi visi dan misi pendidikan nasional yang disesuaikan
dengan latar belakang dan kondisi lokal. Adalah sangat mungkin latar belakang
dan kondisi lokal dari sekelompok sekolah memiliki kemiripan, dan untuk ini
dimungkinkan untuk mengembangkan visi dan misi dari beberapa sekolah yang
berada dalam suatu cluster sekolah.
Visi dan misi sekolah ini akan
terus membayangi segenap warga sekolah: Kepala sekolah, guru, pegawai
administrasi, siswa dan orang tua siswa, dengan pertanyaan-pertanyaan: Mengapa
kita di sini? Apa yang harus kita perbuat atau kerjakan? Bagaimana kita
melaksanakan? Bagi kepala sekolah harus selalu ditantang dengan pertanyaan:
Mengapa dan untuk opa saya jadi kepala sekolah? Apa yang harus saya kerjakan
sebagai kepala sekolah? Bagaimana saya melakukan pekerjaan tersebut? Pertanyaan
akan muncul bagi guru: Mengapa dan untuk apa saya menjadi guru? Apa yang harus
saya kerjakan sebagai guru? Bagaimana saya melaksanakan pekerjaan tersebut? Pertayaan-pertanyaan
tersebut akan mendorong seluruh warga sekolah, sesuai dengan kapasitas dan
fungsi masing-masing bekerja keras berdasarkan misi guna mendekati visi
sekolah.
H.Sekolah sebagai sistem organik
Suatu sekolah merupakan gabungan
dari berbagai, baik akademik maupun non-akademik, termasuk bagaimana interaksi
guru-siswa formal dalam proses belajar
mengajar, interaksi antar guru, interaksi guru dan pegawai administrasi
dalam proses mengurus kenaikan pangkat guru, interaksi antara siswa dan staf
perpustakaan dalam proses bagaimana tenaga perpustakaan melayani para siswa,
interaksi antara guru dan kepala sekolah dalam proses bagaimana kepala sekolah
memimpin para guru, dan sebagainya. Interaksi yang begitu banyak terjadi di
sekolah tersebut, memberikan signal bagi kita semua, bahwa program kerja
sekolah memiliki suatu sistem yang mampu mengkoordinasi dan mensinergikan dari
seluruh interaksi yang ada di sekolah.
Inti dari
interaksi pendidikan adalah
interaksi formal guru-siswa dalam
proses belajar mengajar yang merupakan interaksi dari berbagai komponen pendidikan:
guru, siswa dan bahan ajar serta peralatan. Dalam istilah yang singkat disebut
proses pembelajaran yang berasal dari kata 'learning'. Meskipun
interaksi formal dalam proses pembelajaran merupakan interaksi akademik, tetapi
interaksi ini tidak bisa diisolir dari interaksi kegiatan yang lain termasuk
kegiatan non-akademik, seperti interaksi dalam proses pengurusan kenaikan
jenjang jabatan guru, pelayanan perpustakaan, pelaksanaan apel bendera, atau
kepemimpinan sekolah. Oleh karena itu, sekolah mandiri merupakan kebutuhan dari
seluruh interaksi tersebut.
Sekolah
jangan dipandang sebagai suatu jaringan individu tetapi sebagai jaringan interaksi.
Setiap interaksi akan menghasilkan kekuatan atau energi yang berpengaruh
terhadap sekolah: negatif atau positif. Bentuk-bentuk dan bagaimana kualitas
interaksi berlangsung akan menentukan sifat dan besaran energi. Oleh karena
itu, sekolah mandiri harus memfokuskan pada interaksi ini di samping
memfokuskan pada diri individu warga sekolah. Sudah barang tentu fokus ini tidak
dapat dipisahkan secara absolut, melainkan secara simultan. Malahan dapat
dikatakan bahwa sekolah harus secara simultan memahami masing-masing individu
dengan segala karakteristiknya dan interaksi saling ketergantungan dari
berbagai individu tersebut. Kita tidak dapat memisahkan keduanya.
Tuntutan yang penting adalah
sekolah perlu mengidentifikasi keberadaan berbagai bentuk interaksi dengan
masingmasing karakteristik pokok yang menyertai. Misalnya, sekolah memiliki a)
interaksi formal dalam ujud proses belajar mengajar, b) interaksi guru
informal, c) interaksi guru formal dalam rapat, d) interaksi siswa dalam kelas,
e) interaksi siswa di luar kelas, dan sebagainya. Masing-masing interaksi
tersebut masih dapat diperinci. Interaksi belajar mengajar terdiri dari: a)
interaksi guru dalam menjelaskan materi, b) interaksi guru dalam mengajukan
pertanyaan terhadap siswa, c) interaksi guru dalam menanggapi jawaban siswa,
dan sebagainya.
Karakteristik masing-masing
interaksi tersebut akan menghasilkan energi yang bersifat positif atau negatif.
Bersifat positif apabila hasil interaksi akan menimbulkan seseorang bekerja
lebih keras. Sebaliknya, bersifat negatif apabila interaksi akan menyebabkan
seseorang menjadi malas, tertekan, dan menurun semangatnya. Dalam kalangan
profesi kedokteran, interaksi antar dokter menimbulkan energi positif untuk
kemajuan ilmu kedokteran, sebab apabila dokter ketemu dokter mereka bertukar
pikiran tentang bagaimana pengalaman mereka berkaitan dengan praktek
pengobatan. Demikian juga kalau insinyur ketemu insinyur yang dibicarakan
adalah bagaimana teknik pembangunan jalan layang baru yang lebih hemat dan
canggih telah diketernukan, sehingga interaksi ini menimbulkan energi yang
positif. Tetapi tengoklah, kalau guru berinteraksi dengan guru, jarang mereka
membicarakan pengalaman masing-masing dalam interaksi dengan siswa. Kalau
interaksi guru dengan guru dapat diubah dan di arahkan dalam interaksi mereka
membicarakan pengalaman mereka tentang proses belajar mengajar, maka interaksi
ini akan menimbulkan energi yang dahsyat yang akan membawa kemajuan pendidikan.
Dalam jangka 2-3 tahun, jika dalam setiap interaksinya guru membiasakan
berdiskusi dengan sesama guru, maka dunia pendidikan akan mengalami perubahan
besar.
Dalam sekolah mandiri yang
memiliki sifat sistem organik, kepala sekolah di samping menaruh perhatian
terhadap warga sekolah sebagai individu atau kelompok, ia juga harus memahami
dan menaruh perhatian terhadap proses interaksi ini. Energi yang dihasilkan
oleh interaksi tersebut harus dicermati dan merupakan sesuatu yang akan
diorganisir. Kepala sekolah berperan untuk memfokuskan, mendorong, mengembangkan
dan mengorganisir serta mengelola energi tersebut
untuk
di arahkan guna kemajuan sekolah. Untuk itu sekolah dan seluruh warganya harus
bersifat adaptif.
I.Dekonsentrasi dan desentralisasi
Sekolah
Mandiri merupakan implementasi dari desentralisasi pendidikan. Untuk mendukung
pelaksanaannya, pada Sekolah Mandiri perlu dikembangkan Dekonsentrasi
pengambilan keputusan yang memerlukan restrukturisasi organisasi
pendidikan.Organisasi pendidikan bersifat sentralistis. Kebijakan pendidikan
secara umum dan politis ditetapkan oleh Departemen Pendidikan. Keputusan
politis ini harus dijabarkan oleh direktorat jenderal yang relevan. Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah bertanggung jawab untuk merumuskan kebijakan
pendidikan dasar dan menengah. Kebijakan Dirjen ini akan dioperasionalkan ke
dalam kebijakan teknis oleh direktorat yang relevan. Kemudian Kantor Wilayah
dan Kantor Daerah Pendidikan dan Kebudayaan akan melakukan koordinasi
implementasi kebijakan teknis tersebut.
Implementasi Sekolah Mandiri
memerlukan restrukturisasi organisasi dengan menempatkan pembuatan kebijakan
teknis pada Kantor Daerah Pendidikan. Organisasi Direktorat dan Kantor Wilayah
Pendidikan perlu dihapuskan. Sebab, kebijakan teknis yang diperlukan adalah
yang sesuai dengan tuntutan dan kondisi lokal. Dengan demikian Kantor Daerah
akan memiliki fungsi mewakili Departemen dalam pengambilan keputusan untuk
daerahnya masing-masing.
Reformasi
pendidikan merupakan suatu keharusan. Sebab, cara-cara yang selama ini
dilaksanakan dalam pengelolaan pendidikan tidak akan dapat memecahkan
persoalan-persoalan yang muncul dewasa ini. Krisis moneter dan ekonomi yang
diikuti oleh krisis politik, kepercayaan dan keamanan, mempercepat keharusan
reformasi pendidikan.
Reformasi
pendidikan yang diperlukan bersifat menyeluruh dan mendasar, menyangkut dimensi
kultural-fokasional, politik-kebijakan, teknis-operasional, dan, dimensi
kontekstual. Tambal sulam dalam dunia pendidikan saat ini harus dihindarkan,
sebab hanya akan berakibat menunda datangnya bencana yang lebih parah lagi.
Betapapun
Reformasi merupakan suatu keharusan, tetap saja akan muncul resistensi yang
menghambat jalannya reformasi. Oleh karena itu, reformasi pendidikan perlu
untuk:
1.
Mendapatkan dukungan dari
kalangan profesional dengan:
a) memberikan pelayanan yang lebih
baik,
b) menciptakan iklim yang kondusif
untuk mengembangkan kerjasama profesional, dan c) meningkatkan kesejahteraan
mereka.
2. Mengembangkan
kesadaran di kalangan profesional dan kesempatan bagi orang tua untuk
berpartisipasi dalam kegiatan sekolah sehingga merasa ikut memiliki.
3. Mengurangi
beban administrasi atau non-profesional guru dengan lebih menekankan pada aspek
teknis profesional.
Di samping itu, selain tambal sulam, reformasi pendidikan juga
harus menghindari upaya pencapaian hasil jangka pendek atau semu dengan mengorbankan
pencapaian hasil jangka panjang. Hal ini
dapat terjadi, misalnya, apabila reformasi hanya menekankan pada aktivitas yang
memfokuskan pada perilaku baru guru dalam mengajar, bagaimana guru menguasai
materi baru, memahami makna hakiki dari reformasi pendidikan yakni membantu
peserta didik mengembangkan peran dirinya yang baru.
B.MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Desentralisasi di bidang pendidikan
merupakan satu aspek yang sangat penting dari upaya Pemerintah dalam bidang
desentralisasi. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai bagian dari strategi
Pemerintah dalam desentralisasi pendidikan bertujuan memperkuat kehidupan
berdemokrasi melalui desentralisasi kekuasaan, sumber daya dan dana ke
masyarakat tingkat sekolah. Bersama partisipasi aktif masyarakat dalam bidang
pendidikan MBS akan membantu sekolah dalam merencanakan manajemen sekolah,
kebutuhan belajar siswa dan membuat keputusan pada masalah-masalah yang
langsung berakibat pada pengelolaan sekolah dan belajar siswa. Dengan cara ini
diharapkan MBS dapat meningkatkan demokratisasi pengeloaan sekolah,
transparansi perencanaan, akuntabilitas pelaporan proses belajar-mengajar yang
aktif, kreatif, dan menyengangkan, yang diharapkan dapat meningkatkan mutu
pembelajaran dan mutu pendidikan pada umumnya.
Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dikembangkan dari hasil penelitian tentang sekolah efektif. Konsepnya berupa desentralisasi manajemen sumber-sumber daya ke tingkat sekolah: pengetahuan, teknologi, kewenangan (power), bahan, orang, waktu, dan keuangan. Desentralisasi ini bersifat administratif: keputusan yang dibuat di tingkat sekolah harus dalam kerangka kebijakan nasional. Dengan demikian, sekolah masih harus akuntabel kepada Pemerintah atau pemerintah daerah, tidak hanya kepada masyarakat dan pememangku kepentingan lainnya dalam pendidikan.
Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dikembangkan dari hasil penelitian tentang sekolah efektif. Konsepnya berupa desentralisasi manajemen sumber-sumber daya ke tingkat sekolah: pengetahuan, teknologi, kewenangan (power), bahan, orang, waktu, dan keuangan. Desentralisasi ini bersifat administratif: keputusan yang dibuat di tingkat sekolah harus dalam kerangka kebijakan nasional. Dengan demikian, sekolah masih harus akuntabel kepada Pemerintah atau pemerintah daerah, tidak hanya kepada masyarakat dan pememangku kepentingan lainnya dalam pendidikan.
Konsep Dasar Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS)
1.Pengertian MBS
Manajemen berbasis sekolah atau School
Based Management dapat didefinisikan dan penyerasian sumber daya yang dilakukan
secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang
terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengembilan keputusan untuk
memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam
pendidikan nasioal.
Secara garis besar, MBS adalah upaya
(i) mendelegasikan organisasi, manajemen dan tata kelola (governance) sekolah;
(ii) memberdayakan orang yang paling dekat dengan siswa di kelas, yaitu guru,
orangtua dan kepala sekolah; (iii) menciptakan peran dan tanggung jawab baru
bagi seluruh orang yang terlibat dalam MBS; dan (iv) mentransformasikan proses
belajar-mengajar yang terjadi di sekolah (Hallinger, Murphy, & Hausman, 1992).
Dengan demikian manajemen berbasis sekolah merupakan bentuk alternatif
pengelolaan sekolah dalam rangka desentralisasi pendidikan, yang ditandai oleh
adanya kewenangan pengambilan keputusan yang lebih luas di tingkat sekolah,
partisipasi masyarakat yang relatif tinggi, dalam kerangka kebijakan pendidikan
nasional.
2.Landasan MBS
PelaksanaanDalam sistem yang
terdesentralisasi, banyak porsi dalam bidang pendidikan direncanakan dan
dikelola oleh Pemerintah Daerah. Dalam sistem ini, Pemerintah Pusat hanya
menentukan kebijakan-kebijakan secara nasional dan menentukan standar standar
nasional.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pasal 13
ayat(1) f dan Pasl 14 ayat(1) f masing-masing menegaskan bahwa penyelengaraan
pendidikan dan alokasi sumber daya manusi potensial menjadi urusan pemerintah
daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Selanjutnya,
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 51
menjamin bahwa pengelolaan satuan pendidikan dilaksanakan dengan prinsip manajemen
berbasis sekolah. Kemudian
Rencana Strategis Depdikas Tahun
2005 – 2009, bagian Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, dalam sub
bagian Peningkatan Governance, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik, dinyatakan
bahwa pengembangan kapasitas dilaksanakan dalam rangka penerapan
Manajemen Berbasis Sekolah.Penelitian
beberapa negara yang menerapkan MBS selama beberapa tahun memperlihatkan: (i)
kepala sekolah melaporkan kepuasan kerja yang lebih tinggi, fleksibilitas,
kecepatan pembuatan keputusan, rendahnya kadar birokrasi, dan lebih banyak
keterlibatan orangtua dan komite sekolah (ii) para guru merasa lebih
diberdayakan, meningkatnya kepuasan kerja, kesungguhan (committment), dan rasa
hubungan kerja sesama rekan (collegiality). Guru yang diberdayakan yakin bahwa
mereka memiliki daya untuk "mengidentifikasi masalah, merumusan dan
menerapkan upaya perubahan, dan ...bertanggung jawab terhadap hasil dari
organisasi”
3.Esensi
Esensi dari MBS adalah otonomi dan
pengambilan keputusan partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah. Otonomi
dapat diartikan sebagai kewenangan (kemandirian) yaitu kemandirian dalam
mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Jadi, otonomi sekolah adalah kewenangan
sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai dengan
dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Kemandirian yang-dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu
kemampuan untuk mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan
berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya,
kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan
cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan
adaftif dan antisipatif, kemampuan bersinergi danm berkaborasi, dan kemampuan memenuhi
kebutuhan sendiri.
Pengambilan keputusan partisipatif
adalah suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang
terbuka dan demokratik, di mana warga sekolah (guru, karyawan, siswa,orang tua,
tokoh masyarakat) dkjorong untuk terlibatsecara langsung dalam proses
pengambilankeputusan yang akan dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan
sekolah. Pengambilan keputusan partisipasi berangkat dari asumsi bahwa jika
seseorang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan tersebut, sehingga yang
bersangkutan akan merasa memiliki keputusan tersebut, sehingga yang
bersangkutan akan bertanggung jawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai
tujuan sekolah. Singkatnya makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula
rasa memiliki, makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggung jawab,
dan makin besar rasa tanggung jawab makin besar pula dedikasinya.
Dengan pola MBS, sekolah memiliki
kewenangan (kemandirian) yang lebih besar dalam mengelola manajemennya sendiri.
Kemandirian tersebut di antaranya meliputi penetapan sasaran peningkatan mutu,
penyusunan rencana peningkatan mutu, pelaksanaan rencana peningkatan mutu dan
melakukan evaluasi peningkatan mutu. Di samping itu, sekolah juga mmiliki
kemandirian dalam menggali partisipasi kelompok yang brekepentingan dengan
sekolah. Di sinilah letak ciri khas MBS.
Berdasarkan konsep dasar yang telah
diuraikan di atas, maka perlu dilakukan penyesuaian din dari pola lama
manajemen pendidikan menuju pola baru manajemen pendidikan- masa depan yang
lebih bernuansa otonomi yang demokratis. Dimensi-dimensi perubahan pola
manajemen dari yang lama menuju yang baru tersebut, dewasa ini secara
konseptual maupun praktik tertera dalam MBS.
Mengacu pada dimensi-dimensi
tersebut di atas, sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolaan
lembaganya. Pengambilan keputusan akan dilakukan secara partisipatif dengan
mengikutsertakan peran masyarakat sebesar-besarnya.
4. Karakterisitk Manajemen Berbasis Sekolah
Karakteristik manajemen berbasis
sekolah tentunya tidak terlepas dari pendekatan input, proses, output
pendidikan.
1. Input Pendidikan
a.Memiliki kebijakan, tujuan dan sasaran mutu yang jelas.
b.Tersedianya sumberdaya yang kompetitif dan berdedikasi.
c.Memiliki harapan prestasi yang tinggi.
d.Komitmen pada pelanggan
2.Proses pendidikan
a.Efektifitas yang tinggi dalam proses belajar mengajar
b.Kepemimpinan yang kuat.
c. Lingkungan sekolah yang nyaman.
d. Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif.
e. Tim kerja yang kompak dan dinamis.
f. Kemandirian, partisipatif dan keterbukaan (transparansi)
g. Evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan.
h. Responsif, antisipatif, kominikatif dan akuntabilitas.
3. Out put yang diharapkan
Tujuan umum peyelenggaraan pendidikan dan konsep dasar
manajemen berbasis sekolah
5. Karakteristik Sekolah Mandiri Dengan MBS
Selanjutnya,melalui penerapan MBS akan nampak karakteristik
dari profil sekolah mandiri, di antaranya sebagai berikut:
1. Pengelolaan sekolah akan lebih desentarlistik
2. Perubahan sekolah akan lebih didorong oleh motivasi internal
dari pada diatur oleh luar sekolah.
3. Regulasi pendidkan menjadi lebih sederhana.
4. Peranan para pengawas bergeser dari mengontrol menjadi
mempengaruhi dan
mengarahkan menjadi menfasilitasi dan dari menghindari resiko menjadi mengelola resiko.
mengarahkan menjadi menfasilitasi dan dari menghindari resiko menjadi mengelola resiko.
5. Akan mengalami peningkatan manajemen.
6. Dalam bekerja, akan menggunakan team work
7. Pengelolaan informasi akan lebih mengarah kesemua
kelompok kepentingan sekolah
8. Manajemen sekolah akan lebih menggunakan pemberdayaan dan struktur organisasi akan lebih datar sehingga akan lebih sederhana dan efisien.
8. Manajemen sekolah akan lebih menggunakan pemberdayaan dan struktur organisasi akan lebih datar sehingga akan lebih sederhana dan efisien.
6. Tujuan Penerapan MBS
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) bertujuan untuk
memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan,
keluwesan, dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan
kemandiriannya, maka:
1. Sekolah sebagai lembaga pendidikan lebih mengetahui
kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya dibanding dengan
lembaga-lembaga lainnya.
2. Dengan demikian sekolah dapat mengoptimalkan sumber daya
yang tersedia untuk memajukan lembaganya.
3. Sekolah lebih mengetahui sumber daya yang dimilikinya dan
input pendidikan yang akan dikembangkan serta didayagunakan dalam proses
pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik,
4. Sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan
masing-masing kepada pemerintah, orang tua peserta didik, dan masyarakat pada,
umumnya, sehingga sekolah akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan
dan mencapai sasarn mutu pendidikan yang telah direncanakan.
5. Sekolah dapat melakukan persaingan sehat dengan
sekolah-sekolah yang lainnya untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui
upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang tua peserta didik, masyarakat, dan
pemerintah daerah setempat.
Dengan demikian, secara bertahap akan terbentuk sekolah yang
memiliki kemandirian tinggi. Secara umum, sekolah yang mandiri memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
1. Tingkat kemandirian tinggi sehingga tingkat ketergantungan menjadi rendah
2. Bersifat adaptif dan antisipatif memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko)
1. Tingkat kemandirian tinggi sehingga tingkat ketergantungan menjadi rendah
2. Bersifat adaptif dan antisipatif memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko)
3. Bertanggung jawab terhadap input manajemen dan sumber
dayanya.
4. Memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja.
5. Komitmen yang tinggi pada dirinya.
6. Prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya.
Selanjutnya dilihat dari sumber daya manusia sekolah yang
mandiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Pekerjaan adalah miliknya.
2. Bertanggung jawab.
3. Memiliki kontribusi terhadap pekerjaannya
4. Mengetahui poisisi dirinya dan memiliki kontrol terhadap
pekerjaannya
5. Pekerjaan merupakan bagian hidupnya Dalam upaya menuju
sekolah mandiri, terlebih dahulu kita perlu menciptakan sekolah yang efektif.
Ciri sekolah yang efektif adalah sebagai berikut:
1. Visi dan misi yang jelas dan target mutu yang harus
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan secara lokal.
2. Sekolah memiliki output yang selalu meningkat setiap
tahun.
3. Lingkungan sekolah aman, tertib, dan menyenangkan bagi
warga sekolah.
4. Seluruh personil sekolah memiliki visi, misi, dan harapan
yang tinggi untuk berprestasi secara optimal.
5. Sekolah memiliki sistem evaluasi yang kontinyu dan
komprehensif terhadap berbagai aspek akademik dan non akademik.
7. Model MBS Leithwood dan Menzies
(1998)
menemukan empat model MBS dari hasil penelitiannya, yaitu:
1. Kontrol administratif, kepala sekolah dominan sebagai
representasi dari administrasi pendidikan.
2. Kontrol profesional, pendidik menerima otoritas.
3. Kontrol masyarakat, kelompok masyarakat dan orangtua
peserta didik, melalui Komite Sekolah, terlibat dalam kegiatan sekolah.
4. Kontrol secara seimbang, orangtua siswa dan kelompok
profesional (kepala sekolah dan pendidik) saling bekerja sama secara seimbang.Keempat
model MBS tersebut sebenarnya merupakan berbagai varian yang muncul dalam
proses pemberian otonomi. Pada awal pemberian otonomi, model yang pertama
(kepala sekolah dominan) telah lahir dengan sosok sebagai raja-raja kecil yang
berkuasa di berbagai satuan organisasi, termasuk kabupaten/kota sampai dengan
satuan pendidikan sekolah. Model kedua, para guru telah dilibatkan dalam
manajemen sekolah. Model ketiga, masyarakat dan orangtua siswa telah dilibatkan
dalam kegiatan sekolah. Model keempat adalah model ideal yang diharapkan. Model
keempat ini merupakan model hubungan sinergis antara keluarga, sekolah, dan
masyarakat, yang diharapkan dapat mendongkrak upaya peningkatan mutu pendidikan.
8. Langkah-Langkah Penerapan
1. Perencanaan
a. Mengidenfikasi sistem, budaya, dan sumberdaya, mana yang
perlu dipertahankan dan diubah dengan memperkenalkan dahulu format baru yang
lebih baik.
b. Membuat komitmen secara rinciyang diketahui semua unsur yang bertanggung jawab, jika terjadi perubahan yang mendasar.
b. Membuat komitmen secara rinciyang diketahui semua unsur yang bertanggung jawab, jika terjadi perubahan yang mendasar.
c. Hadapilah penolakan terhadap perubahan dengan memberi
pengertian akan pentingya perubahan demi mencapai tujuan bersama.
d. Bekerja dengan semua unsur sekolah dalam menjelaskan atau
memaparkan visi, misi, tujuan, sasaran, rencana dan program-program
penyelenggaraan MBS.
e. Menggaris bawahi prioritas sistem, budaya dan sumberdaya
yang belum ada dan sangat diperlukan.
2. Mengindentifikasi tantangan nyata sekolah Pada umumnya
tantangan sekolah ada pada uotput (lulusan) yang meliputi aspek kualitas, produktifitas,
efektibilitas dan efisiensi. Sehingga perlu adanya identifikasi dari hasil
analisis output melalui penyelenggaraan pendidikan.
3. Merumuskan visi, misi, tujuan, sasaran sekolah yang dapat
menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah.
- Visi adalah gambaran masa depan yang diinginkan sekolah
dan kapan tujuan itu akan tercapai.
- Misi adalah tindakan untuk merealisasikan visi tersebut.
- Tujuan adalah apa yang ingin dicapai atau dihasilkan oleh
sekolah dan kapan tujuan itu akan dicapai.
- Sasaran adalah penjabaran tujuan yang akan dicapai oleh
sekolah dalam jangka waktu lebih pendek dibandingkan dengan tujuan sekolah.
4. Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang diperlukan untuk
mencapai sasaran.
Fungsi-fungsi yang dimaksud adalah unsur-unsur kegiatan dan pendukungnya yang saling berkaitan dan tidak bisa berdiri sendiri.
Fungsi-fungsi yang dimaksud adalah unsur-unsur kegiatan dan pendukungnya yang saling berkaitan dan tidak bisa berdiri sendiri.
5. Melakukan analisis potensi lingkungan (analisis SWOT)
Prinsip analisis SWOT
- Kekuatan apa saja yang dimiliki? Dan bagaimana
memmanfaatkannya?
- Kelemahan apa saja yang dimiliki? Dana bagaimana cara
meminimalisir?
- Peluang apa saja yang ada? Dana bagaimana memanfaatkannya?
- Ancaman apa yang mungkin menghambat? Bagaimana
mengatasinya?
6. Memilih langkah alternatif pemecahan masalah.
7. Menyusun rencana program penigkatan mutu.Meliputi program
jangka pendek, menengah dan jangka panjang.
8. Melaksanakan rencana program peningkatan mutu.
9. Melakukan evaluasi pelaksanaan.
10. Merumuskan sasaran peningkatan mutu baru.
9. Strategi Pengembangan
Ada lima prinsip yang mendasari program
MBS (CLCC), yaitu
(1) suitable program cocok dengan sistem dan kultur di
Indonesia
(2) workable dapat dilaksanakan, program lebih bersifat
praktis dan “membumi”
(3) affordable terjangkau, program dapat dilaksanakan oleh
sekolah dengan inisiatif sendiri secara mandiri, bila perlu tanpa harus ada
bantuan dari luar
(4) replicable program dapat direplikasi kepada sekolah
lain, dan
(5) sustainable program
dapat terus dilaksanakan dan dikembangkan karena didesain sesuai dengan dan
diimplementasikan ke dalam sistem dan struktur yang ada. Jadi program MBS tidak
memproduksi “barang baru”.
Tiga pilar MBS yang diintervensi
dalam CLCC adalah (i) manajemen sekolah, (ii) proses pembelajaran, dan (iii)
peranserta masyarakat. Ada pelatihan pelaksanaan ketiga pilar ini pada kepala
sekolah, guru, komite sekolah, dan personel pemerintah daerah, dengan porsi
materi sesuai dengan peran masing-masing.
Dalam manajemen sekolah, kepala
sekolah dan stafnya (para guru dan pegawai administrasi sekolah) didorong untuk
berinovasi dan berimprovisasi dari dalam diri sekolah, yang kemudian akan
menumbuhkan daya kreativitas dan prakarsa sekolah, dan membuat sekolah sebagai
pusat perubahan. Pengambilan keputusan melibatkan warga sekolah, sesuai dengan
relevansi, keahlian, yurisdiksi, dan kompatibilitas keputusan dengan
kepentingan partisipan. Dengan cara ini, pengetahuan, informasi dan keahlian
terbagi di antara kepala sekolah, guru dan warga sekolah lain terutama komite
sekolah.
10. Dalam mentrasformasi proses
pembelajaran,
kepala sekolah memfasilitasi setiap upaya guru untuk meningkatkan mutu
pembelajaran di sekolah. Inti dari pilar kedua ini adalah digalakkannya
pembelajaran berpusat pada siswa (student-centered learning), yang diakronimkan
dengan Pembelajaan yang Aktif, Kreatif sehingga menjadi Efektif, namun tetap
Menyengankan (PAKEM). Dalam PAKEM, guru: (i) fleksibel dalam mengelola proses
belajar-mengajar sehingga anak dapat mengungkapkan pendapat dan dirinya, baik
secara lisan maupun tertulis, dan mengungkapkan hasil pekerjaan serta
memajangkan hasil karyanya di sekolah; (ii) menggunakan berbagai jenis
penilaian untuk ”menangkap” kemajuan dan prestasi siswa; (iii) memanfaatkan
berbagai sumber daya yang ada di lingkungan untuk menunjuang pembelajaran di
dalam kelas, termasuk memanfaatkan keahlian dan partisipasi masyarakat.
11. Manfaat MBS Penerapan MBS yang efektif secara spesifik
mengidentifikasi beberapa manfaat spesifik dari penerapan MBS sebagai berikut
(Kathleen, ERIC_Digests,):
a. Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
a. Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
b. Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk
terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
c. Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun
program pembelajaran.
d. Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk
mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
e. Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika
orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan
pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
f. Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan
baru di semua level.
12. Keunggulan MBS
1. MBS adalah lebih demokratis. MBS memungkinan guru dan
orangtua siswa dapat mengambil keputusan tentang pendidikan dengan cara-cara
yang lebih demokratis daripada hanya sekedar memberikan kewenangan kepada
orang-orang yang terbatas atau satu kelompok orang pada level pusat.
2. MBS adalah lebih relevan.
3. MBS adalah tidak birokratis.
4. MBS memungkinkan untuk lebih memiliki akuntabilitas.
5. MBS memungkinkan untuk dapat memobilisasi sumberdaya
secara lebih besar.
Dalin (1994), Carron dan Chau (1996)
menemukan dalam penelitiannya bahwa kualitas pendidikan lebih ditentukan oleh
cara sekolah mengelola sumber daya ketimbang oleh ketersediaan sumber dayanya
sendiri. Sumber daya yang ada di sekolah boleh jadi akan menjadi mala petaka
bagi semua pihak jika kepala sekolah tidak dapat mengelolanya secara
transparan. Faktor lain yang mempengaruhi kualitas pendidikan adalah kemampuan
kepala sekolah dalam meningkatkan proses belajar mengajar. Dengan demikian,
kedua faktor tersebut (ketersediaan sumber daya dan proses belajar mengajar)
harus dikelola secara profesional oleh pihak sekolah.
C.Pengelolaan Pendidikan Pada
Tingkat Sekolah
1.Peran masyarakat
dalam pengelolaan tingkat sekolah
Dalam
Pasal 188 (2) PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan, peran serta masyarakat telah dirumuskan sebagai berikut. Masyarakat
menjadi sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. Oleh karena
itu, masyarakat mempunyai peran dalam bentuk
(a) penyediaan sumber daya pendidikan
(b) penyelenggaraan satuan pendidikan,
(c) penggunaan hasil pendidikan
(d) pengawasan penyelenggaraan pendidikan
(e) pengawasan pengelolaan pendidikan,
(f) pemberian
pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada pemangku
kepentingan pendidikan pada umumnya
(g) pemberian bantuan
atau fasilitas kepada satuan pendidikan dan/atau penyelenggara satuan
pendidikan dalam menjalankan fungsinya. Cukup banyak dan beragam kemungkinan
peran yang dapat ditunaikan oleh masyarakat dalam urusan pendidikan
Pasal 188 (1) bahwa ”Peran serta masyarakat
meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi,
pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian
mutu pelayanan pendidikan”. Bahkan dalam Pasal 188 (4) dinyatakan bahwa peran
serta masyarakat secara khusus dapat disalurkan melalui dewan pendidikan tingkat
nasional, dewan pendidikan tingkat provinsi, dewan pendidikan tingkat
kabupaten/kota, komite sekolah, dan atau organ representasi pemangku
kepentingan satuan pendidikan. Itulah sebabnya, dewan pendidikan, mulai dari
dewan pendidikan tingkat nasional, provinsi, sampai dengan kabupaten/kota,
serta komite sekolah diposisikan menjadi wadah peran serta masyarakat yang
paling dominan untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan.
2.Fungsi
Dewan Pendidikan
Dalam Pasal 192 (2) dengan tegas dijelaskan bahwa ”Dewan Pendidikan
berfungsi dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan
pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta
pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota”.
Tampak jelas bahwa rumusan Pasal 192 (2) PP Nomor 17 Tahun 2010 merupakan
penjabaran dari Pasal 56 (3) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, yang di dalam Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah
disebutkan sebagai peran dan fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Sementara dalam Pasal 192 (3) disebutkan bahwa fungsi Dewan Pendidikan adalah
meningkatkan mutu layanan pendidikan. Dengan cara bagaimana fungsi tersebut
dapat dilakukan oleh Dewan Pendidikan? Ternyata fungsi Dewan Pendidikan masih
juga dilakukan dengan tiga peran, yaitu (1) memberikan pertimbangan, yang
dalam Buku Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah disebut peran advisory
agency atau badan yang memberikan pertimbangan, (2) memberikan arahan dan
dukungan tenaga, sarana dan prasarana, yang di dalam Buku Panduan Umum Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah disebut sebagai suporting agency atau
badan yang memberikan dukungan, serta (3) melakukan pengawasan pendidikan,
sekali lagi yang dalam Buku Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah
dikenal dengan controlling agency atau badan yang melakukan
pengawasan. Secara tegas, Pasal 192 (3) dinyatakan bahwa Dewan Pendidikan
menjalankan fungsinya secara mandiri dan profesional, dalam arti tidak dapat
dipengaruhi dan diitervensi oleh pihak lain, termasuk oleh unsur birokrasi
pendidikan.
3.Tugas
Dewan Pendidikan
Dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 dijelaskan dengan lebih gamblang bahwa
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah mempunyai fungsi memberikan pertimbangan
kepada birokrasi pendidikan. Pelaksanaan fungsi ini tidak akan dapat dilakukan
jika Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tidak memiliki data dan informasi atau
bahan yang digunakan untuk memberikan pertimbangan itu. Oleh karena itu, dalam
Pasal 192 (4) dijelaskan tentang tugas untuk memperoleh data dan informasi yang
akan diserahkan sebagai bahan pertimbangan. Pasal ini menyebutkan bahwa: ”Dewan
Pendidikan bertugas menghimpun, menganalisis, dan memberikan rekomendasi kepada
Menteri, gubernur, bupati/walikota terhadap keluhan, saran, kritik, dan
aspirasi masyarakat terhadap pendidikan”. Dalam ayat berikutnya, Pasal 192 (5)
disebutkan bahwa ”Dewan Pendidikan melaporkan pelaksanaan tugas sebagaimana
dimaksud pada Pasal 192 (4) kepada masyarakat melalui media cetak, elektronik,
laman, pertemuam, dan/atau bentuk lain sejenis sebagai pertanggungjawaban
publik”.
Sungguh, pertanggungjawaban pelaksanaan tugas yang sangat akuntabel,
dan ternyata sistem ini sama persis dengan yang telah dilakukan oleh Board
of Education di Amerika Serikat. Board of Education negara bagian
Illinois, sebagai contoh, membuat laporan pertanggungjawaban tahunannya kepada
masyarakat negara bagian Illinois sebagai berikut: To the community of
State of Illinois ..... Oleh karena itu, ketentuan Pasal 192 (5) tentang
laporan pertang-gungjawaban publik kepada masyarakat merupakan ketentuan yang
sangat patut dapat benar-benar dilaksanakan. Laporan pertanggungjawaban itu
harus dibuat secara tertulis, dan laporan pertanggungjawaban itu disampaikan
kepada masyarakat melalui media cetak, elektronik, laman (website), pertamuan,
atau bentuk lainnya.
4.Unsur menjadi pengurus Dewan Pendidikan
Unsur apa saja yang dapat menjadi pengurus Dewan Pendidikan
dijelaskan dalam Pasal 192 (6), yakni sebagai berikut: (a) pakar pendidikan,
(b) penyelenggara pendidikan, (c) pengusaha, (d). organisasi profesi, (e)
pendidikan berbasis kekhasan agama atau sosial-budaya; dan (f) pendidikan
bertaraf internasional, (g) pendidikan berbasis keunggulan lokal; dan/atau (h)
organisasi sosial kemasyarakatan.
Dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 juga disebutkan tentang proses rekrutmen
pengurus Dewan Pendidikan Nasional, Dewan Pendidikan Provinsi, Dewan Pendidikan
Kabupaten/ Kota, dan Komite Sekolah. Jumlah anggota pengurus Dewan Pendidikan
Nasional paling banyak 15 orang, Dewan Pendidikan Provinsi paling banyak 13
orang, Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota paling banyak 11 orang, dan untuk Komite
Sekolah paling banyak 15 orang. Proses pembentukan dan pemilihan pengurus Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah juga dijelaskan dalam beberapa pasal dalam PP
Nomor 17 Tahun 2010 tersbut, yakni dilakukan oleh Panitia Pemilihan yang
dibentuk untuk itu. Panitia Pemilihan melakukan rekruitmen sebanyak dua kali
jumlah calon pengurus yang akan ditetapkan.
Panitia Pemilihan Dewan Pendidikan Nasional memilih dan mengajukan
30 orang calon pengurus kepada Menteri Pendidikan Nasional untuk kemudian
Menteri Pendidikan Nasional menetapkan SK Dewan Pendidikan Nasional. Demikian
juga, Panitia Pemilihan Dewan Pendidikan Provinsi memilih dan mengajukan 26
orang calon pengurus kepada gubernur untuk kemudian gubernur menetapkan SK
Dewan Pendidikan Provinsi. Panitia Pemilihan Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota
memilih dan mengajukan 22 orang calon pengurus kepada bupati/walikota untuk
kemudian bupati/walikota menetapkan SK Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota. Hal
yang sama, Panitia Pemilihan Komite Sekolah memilih dan mengajukan 30 orang
calon pengurus Komite Sekolah, untuk kemudian kepala sekolah menetapkan SK
Komite Sekolah. Lebih dari itu, proses rekrutmen yang dilakukan untuk Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah harus diumumkan secara terbuka melalui medie
cetak, elektronik, dan laman.
Tampak dalam ketentuan bahwa jumlah pengurus Dewan Pendidikan
dan Komite Sekolah adalah berjumlah gasal, dengan maksud agar bisa dilakukan
pengungutan suara dalam proses pengambilan keputusan, termasuk dalam pemilihan
pengurus Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, khususnya ketua dan sekretaisnya,
setelah proses pemilihan secara mufakat tidak dapat dilakukan. Selain itu,
khusus untuk pemilihan pengurus Dewan Pendidikan Nasional, Provinsi, dan
Kabupaten/ Kota, proses pengusulan calon pengurus tersebut harus mendapatkan
persetujuan dari (a) organisasi profesi pendidik, (b) organisasi profesi lain,
atau (c) organisasi kemasyarakatan.
5.Anggaran
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah
Satu aspek yang banyak ditanyakan adalah tentang sumber dana atau anggaran
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Selama ini, Dewan Pendidikan melaksanakan
kegiatan operasionalnya dengan dana subsidi dari pemerintah pusat dan sebagian
juga berasal dari anggaran dari pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Bahkan, pada tahun ini subsidi stimulan Dewan Pendidikan pun tidak diberikan
lagi karena alasan keterbatasan anggaran. Dalam aspek anggaran ini, PP Nomor 17
Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan menyebutkan pada
Pasal 192 (13) bahwa ”Pendanaan dewan pendidikan dapat bersumber dari (a)
pemerintah, (b) pemerintah daerah, (c) masyarakat, (d) bantuan pihak asing yang
tidak mengikat, dan/atau (e) sumber lain yang sah. Sumber dana tersebut juga
secara eksplisit disebutkan untuk komite Sekolah.
Sangat disayangkan, ketentuan tentang anggaran ini telah menggunakan
”pasal karet” yang tertulis ”dapat bersumber”. Kalimat hukum seperti itu seyogyanya
tidak digunakan. Pasal dengan nada yang mengharuskan saja belum tentu
dilaksanakan secara bertanggung jawab, apalagi dengan kata ”dapat”. Selain itu,
perihal sumber anggaran ini sebenarnya secara eksplisit perlu disebutkan sumber
anggaran yang selama ini telah ikut menghidupi Dewan Pendidikan, yakni dari
DUDI (dunia usaha dan dunia industri), khususnya dari sumber dana yang dikenal
dengan CSR (corporate social responsibility). Dalam hal ini,
perusahaan memiliki kewajiban untuk menyisihkan sedikit keuntangannya untuk
kepentingan masyarakat, termasuk kepentingan pendidikan. Beberapa Dewan
Pendidikan sudah mulai melaksanakan kerja sama dengan DUDI ini, dan beberapa di
antaranya sudah berhasil.
6.Larangan
dan Pengawasan
Dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan ini juga terdapat ketentuan tentang larangan dan pengawasan.
Kegiatan apa saja yang tidak boleh dilakukan oleh Dewan Pendidikan dan Komite
Sekolah? Dewan pendidikan dan/atau komite sekolah/madrasah, baik perseorangan
maupun kolektif, dilarang:
- menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan;
- memungut biaya bimbingan belajar atau les dari peserta didik atau orang tua/walinya di satuan pendidikan;
- mencederai integritas evaluasi hasil belajar peserta didik secara langsung atau tidak langsung;
- mencederai integritas seleksi penerimaan peserta didik baru secara langsung atau tidak langsung; dan/atau
- melaksanakan kegiatan lain yang mencederai integritas satuan pendidikan secara langsung atau tidak langsung.
Larangan ini harus dimaknai sebagai upaya untuk menjauhkan diri dari
kemungkinan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah ikut-ikutan menumbuhsuburkan
praktik korupsi dan KKN dalam pelaksanaan peran dan tugasnya untuk meningkatkan
layanan pendidikan. Jangan sampai terjadi karena dengan alasan untuk
melaksanakan peran dan tugasnya, lalu Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah juga
melakukan cara-cara yang penuh nuansa koruptif dan KKN tersebut.
Malahan, kita memperhatikan bahwa Dewan Pendidikan lebih diposisikan
sebagai agen pengawasan yang andal. Oleh karena itu Pasal 199 (1) menyebutkan
bahwa: ”Pengawasan pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah”.
Bahkan, pengawasan itu meliputi dua aspek penting, yakni pengawasan
administratif dan pengawasan dari segi teknis edukatif yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku. Sudah barang tentu, pengawasan
yang dilakukan oleh Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah bukanlah sebagai
pengawasan fungsional, sebagaimana yang harus dilakukan oleh BPK, BPKP,
Inspektorat Jenderal, maupun pengawas fungsional yang lain di tingkat daerah.
Pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Penididkan danKomite Sekolah adalah
jenis pangawasan sosial atau masyarakat. Namun demikian, Dewan Pendidikan dan
Komite Sekolah bisa saja meminta kepada lembaga independent auditor untuk
membantu tugas Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, atas nama wadah peran serta
masyarakat.
D.Akuntabilitas Pendidikan
Ide pengalihan status dan peran
pengawasan pendidikan menjadi akuntabilitas pendidikan dari pemerintah kepada
masyarakat, menarik untuk dicermati. Pertama, bila pengawasan bersifat administratif
dan dilakukan oleh birokrasi,pengalihan status dan peran pengawasan itu akan
berdampak luas. Sebab, secara substantif, pengawasan dan pertanggungjawaban
adalah dua unsur yang berbeda.
Oleh karena itu, pengalihan fungsi dan peranan pengawasan menjadi
pertanggungjawaban akan berarti terjadi defungsionalisasi lembaga pengawasan
pada birokrasi pendidikan. Akibatnya tidak hanya inspektorat jenderal yang akan
kehilangan fungsi, tetapi para pengawas/penilik sekolah di daerah pun akan kehilangan
pekerjaan.
Dari sisi kebutuhan organisasi, ide ini positif guna
merampingkan birokrasi dan kewenangannya, dengan menyisakan fungsi Departemen
Pendidikan Nasional sebagai perumus kebijakan an sich. Akan tetapi, dari
sisi kemanfaatan sumber daya manusia, diperlukan reposisi peran para
pengawas/penilik sekolah. Sebab jabatan pengawas/penilik merupakan jabatan
fungsional, sehingga secara normatif mereka merupakan tenaga profesional.
Kedua, kenyataan bahwa sekolah (negeri) masih
"menyusu" kepada dua "ibu" mengakibatkan alur
pertanggungjawaban bersifat ambivalen. Merujuk Pasal 14 Peraturan Pemerintah
Nomor 29 Tahun 1990, kepala sekolah (SLTP dan SLTA) bertanggung jawab kepada
menteri. Ini masuk akal, sebab pengangkatan kepala sekolah (negeri) dilakukan
oleh pemerintah. Tetapi bentuk pertanggungjawabannya sumir alias tidak jelas.
Sejauh yang dapat diamati, laporan pertanggungjawaban sekolah hanya tampak pada
penggunaan dana evaluasi belajar tahap akhir nasional (ebtanas). Laporan
pertanggungjawaban atas pengelolaan pendidikan yang lebih komprehensif tidak
muncul. Di samping itu, mengingat betapa panjang jalur pertanggungjawaban dari
sekolah kepada menteri, hal itu niscaya tidak efisien.
Pada sisi lain, karena masyarakat-yang tercermin pada Badan
Pembantu Penye-lenggara Pendidikan (BP3)-juga memberikan subsidi kepada
sekolah, maka wajar juga sekolah mempertanggungjawabkan pengelolaan subsidi
tersebut. Tetapi bentuk akuntabilitasnya berwarna abu-abu alias tidak jelas
pula. Laporan pendidikan yang disampaikan pihak sekolah hanya dipresentasikan
dengan penerimaan buku rapor; sedangkan pertanggungjawaban keuangan tidak
dilakukan oleh kepala sekolah tetapi oleh pengurus BP3.
Merujuk Pasal 17 Keputusan Mendikbud Nomor 0293 Tahun 1993,
akuntabilitas kepala sekolah kepada masyarakat tidak dalam kapasitasnya sebagai
kepala sekolah tetapi sebagai pembina BP3. Padahal, sekolah mengelola
sepenuhnya iuran rutin yang berasal dari masyarakat itu. Karena itu ide tentang
perubahan bentuk pengawasan menjadi akuntabilitas pendidikan dalam konteks
penerapan manajemen berbasis sekolah perlu mendapat apresiasi positif.
Mekanisme
Pengalihan Akuntabilitas
Mekanisme pengalihan
bentuk pengawasan menjadi akuntabilitas pendidikan tentu membutuhkan sejumlah
persyaratan. Pertama, kehadiran Dewan Sekolah yang seharusnya dilahirkan
melalui peraturan daerah diharapkan dapat memutus pola hubungan segitiga antara
sekolah-pemerintah-masyarakat. Dengan demikian pertanggungjawaban pendidikan
hanya diberikan kepada Dewan Sekolah.
Ini berarti, pengangkatan kepala sekolah menjadi
wewenang Dewan Sekolah. Dewan ini jugalah yang menggaji guru dan karyawan serta
seluruh komponen pembiayaan sekolah melalui kewenangan menentukan alokasi
anggaran pendidikan yang berasal dari RAPBD.Yang menjadi masalah adalah
bahwa-sejauh wacana yang berkembang pada "Forum Otonomi
Pendidikan"-timbul kesan daerah-daerah masih "adem ayem" dalam
mempersiapkan pelaksanaan MBS. Bukan hanya karena model ini masih dalam taraf
uji coba, suprastruktur politik di daerah pun agaknya masih mengalami eforia
otonomi daerah dengan keasyikan dirinya.
Munculnya akronim DPRD sebagai lembaga yang
"Doyan Piknik dan Rekreasi Doang", atau kasus dugaan korupsi dalam
pengadaan sepeda motor di tubuh DPRD di Jawa Tengah, setidaknya menjadi
pertanda kurangnya komitmen pada pemberhasilan otonomi pendidikan.
Kedua, kesiapan masyarakat dalam menerima
akuntabilitas pendidikan dari pihak sekolah. Bila keanggotaan Dewan Sekolah
diasumsikan berasal dari masyarakat pemakai jasa pendidikan di sekolah, maka
terasa perlu upaya "pencerdasan" masyarakat. Di daerah-daerah yang
masyarakatnya berbasis kehidupan pe-tani, hanya dikenal satu idiom pendidikan
ketika mereka diundang dalam rapat BP3, yakni berapa besar "uang
gedung" yang mesti dibayarkan?
Bagi mereka, tidak begitu penting materi
pertanggungjawaban yang disampaikan oleh pengurus BP3. Karena itu, berbekal
penguasaan psikologi massa, pengurus BP3 dengan mudah memperoleh persetujuan
secara aklamasi dalam rapat yang hampir tidak pernah efisien itu. Inilah agenda
penting yang mesti dilakukan bila akuntabilitas pendidikan akan diterimakan
pada masyarakat
Pertanyaan :
1.
Mengapa MBS
dikatakan paradigma baru ?
2.
Apakah sistem
MBS efektif (dalam penerapannya) ? dan bagaimana dengan sekolah-sekolah yang
ada di pedalaman !
3.
Bagaimana
cara mengaktifkan kenbali masyarakat yang tinggal dikawasan sekolah gratis
(notabene dikelola pihak sekolah) ?
4.
Apa saja
hal-hal ynag menyebabkan terjadinya Reformasi pendidikan ?
5.
Apa yang
dimaksud dengan desentralisasi dan akuntabilitas pendididkan ?
6.
Apa guna
disentralisasi ? dan apakah pemerintah telah melakukan desentralisasi ?
Yang bertanya :
1.
Mariatul
husna
2.
Elfa
3.
Lilik
Fitriana Sari
4.
Tiara Amelia
5.
Ayi Reni
Rahmawati
6.
Edwar Edy
Hardadi
Jawaban :
1.
MBS dikatakan
paradikma baru karena kita tau bahwa paradikama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar